Minggu, 24 Juni 2012

Ma’rifatul Bid’ah (Mengenal Bid’ah)

Dalam Kitab Ad Daa’ wad Dawaa’, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengutip ucapan para ulama salaf,

”Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, karena bertaubat dari kemaksiatan itu secara umum lebih mudah daripada bertaubat dari bid’ah”.

Bid’ah adalah setiap bentuk penyimpangan yang diyakini oleh pelakunya sebagai bagian dari Islam dan juga setiap amal yang dianggap syar’i dan diniatkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah tanpa adanya dasar yang dibenarkan dalam syariat Islam. Dan hal itu baik berupa keyakinan, pemikiran, amal perbuatan, perkataan, ataupun tindakan meninggalkan sesuatu (dengan niat ibadah).

Bahaya-bahaya Bid’ah

Bid’ah memiliki banyak sekali bahaya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Membuat bid’ah berarti menbuat hukum syariat baru, padahal yang berwenang secara mutlak dalam menbuat hukum dan syariat hanyalah   Allah dan rasul- Nya Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam. Sehingga dengan demikian pembuat bid’ah telah memposisikan diri sebagai pesaing dan perampas hak mutlak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam dalam membuat hukum dan syariat.
  2. Membuat bid’ah berarti mengada-ada dan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
  3. Setiap bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa syariat Allah masih kurang, sehingga harus ditambah dengan ”syariat” baru yang dibuat-buat oleh pencetus dan pelaku bid’ah.
  4. Setiap bid’ah mengandung muatan pendustaan terhadap Al Qur’an (QS 5: 3)
  5. Setiap bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam itu bodoh, dan memuat klaim bahwa ahli bid’ah itu lebih mengetahui syariat daripada beliau Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
  6. Ada dan maraknya bid’ah mengakibatkan umat Islam merasa tidak butuh kepada Al Qur’an dan sunnah Rasul Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
  7. Kerasnya ancaman bagi pembuat dan pelaku bid’ah yang menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam. (QS. 24 : 63)
  8. Amalan bid’ah tertolak dan tidak diterima (lihat HR Muttafaq ’alaih)
  9. Ibadah bid’ah pada hakekatnya merupakan ibadah kepada syetan. Karena dilihat dari peruntukkannya, ibadah itu hanya terbagi dua yakni: ibadah kepada Allah dan ibadah kepada syetan. (QS.36 : 60-61). Maka setiap bentuk amal ibadah yang tidak memenuhi syarat sah ibadah kepada Allah, berarti termasuk dalam kategori ibadah yang kedua, yaitu ibadah kepada syetan, disadari atau tidak, diketahui atau tidak, dan diniatkan atau tidak oleh pelakunya.

Kapan Sesuatu Bisa Benar-benar Disebut Bid’ah?

Sesuatu baru bisa disebut sebagai bid’ah jika memenuhi kriteria-kriteria (syarat-syarat) sebagai berikut:

  1. Merupakan hal baru yang diada-adakan tanpa adanya contoh terdahulu pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam dan para sahabat radhiyallahu ’anhum.
  2. Tidak adanya dasar sama sekali dari Al Qur’an atau As Sunnah atau ijtihad yang mu’tabar (diakui).
  3. Tidak logis atau ada bagian yang tidak bisa dilogikakan atau tidak boleh dilogikakan atau tidak termasuk dalam wilayah akal dan logika.
  4. Diyakini kebenarannya – oleh pembuat atau pelakunya – sebagai bagian dari syariat dan ajaran Islam.

Macam-macam Bid’ah

Bid’ah bisa dibedakan menjadi dua: bid’ah kubra (bid’ah besar) dan bid’ah shughra (bid’ah kecil). Berikut ini penjelasan singkat tentang keduanya.

Bid’ah kubra (bid’ah besar)

  1. Bid’ah kubra tertuju pada bid’ah akidah, ideologi, atau pemikiran.
  2. Penganut bid’ah inilah yang biasa dikenal dengan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu) atau firaq dhalalah (firqah-firqah sempalan yang sesat).
  3. Hadits tentang perpecahan umat yang terkenal itu secara spesifik juga lebih tertuju pada ahli bid’ah jenis ini.
  4. Induk ahli bid’ah kubra (menurut sebagian ulama) adalah :
    • Khawarij (penentang imam syar’i dan pencetus pemikiran takfir)
    • Rafidhah, yang lebih dikenal dengan sebutan Syi’ah (pengkultus Ahlul Bait)
    • Qadariyah atau Mu’tazilah (penolak rukun iman kepada takdir)
    • Jahmiyah (menafikan sifat-sifat Allah)
    • Murji’ah (berpendapat bahwa, perbuatan dosa tidak mempengaruhi iman sama sekali)

Bid’ah shughra (bid’ah kecil)

Bid’ah shughra sendiri meliputi beberapa jenis bid’ah sebagai berikut.

1. Bid’ah amaliyah , yang meliputi dua hal :

  • Bid’ah dalam tata cara ibadah, yakni melakukan praktek ibadah yang diniatkan untuk Allah dengan cara yang menyalahi dan tidak berdasar pada syariat atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam.
  • Bid’ah dalam niat dan tujuan ibadah, yakni melakukan praktek ibadah yang boleh jadi tata caranya benar akan tetapi niat dan tujuannya tidak murni untuk taat dan taqarrub ilallah, yakni dengan niat dan tujuan yang tidak syar’i  (tidak disyariatkan), seperti misalnya: melakukan amalan ibadah tertentu dengan niat dan tujuan untuk mendapatkan kesaktian, ”tenaga dalam”, ”karamah”, ilmu ladunni, ilmu kasyaf, dan semacamnya.

2. Bid’ah tarkiyah, ialah kesengajaan meninggalkan sesuatu yang disyariatkan atau yang dibolehkan dengan niat ibadah, seperti misalnya meninggalkan makan daging dengan niat ibadah, memilih hidup vegetarian dengan niat ibadah, tidak menikah dengan niat ibadah, dan sebagainya.

3. Bid’ah idhafiyah, ialah bentuk-bentuk bid’ah dengan menambahkan, menentukan dan meyakini cara-cara, format-format, bilangan-bilangan, fadhilah-fadhilah, waktu-waktu, atau tempat-tempat khusus pada ibadah-ibadah tertentu yang semula (berdasarkan dalil-dalilnya) bersifat umum tanpa disertai adanya ketentuan-ketentuan khusus terkait dengan hal-hal itu.  Contohnya : menetapkan tata cara, format, bilangan, tempat atau waktu khusus yang bersifat baku dalam melakukan dzikir jama’i (dzikir berjama’ah), disertai adanya keyakinan tentang fadhilah dan keutamaan tertentu dari pengkhususan-pengkhususan tersebut (tentu saja tanpa adanya dasar yang dibenarkan secara dalil syar’i atau ’aqli/logika), dan lain-lain. Dan lawan dari bid’ah idhafiyah (penambahan atas pokok ajaran syar’i yang bersifat umum), adalah bid’ah ashliyah, atau bid’ah haqiqiyah -(bid’ah asli, atau bid’ah murni, atau bid’ah hakiki, atau bid’ah yang benar-benar bid’ah, karena baik pokok maupun cabang-cabang dan rinciannya, adalah bid’ah semuanya).

Sementara itu bid’ah juga biasa dibedakan berdasarkan hukum pelakunya menjadi dua macam :

1) bid’ah mukaffirah (bid’ah yang menjadikan pelakunya dihukumi kafir), dan

2) bid’ah mufassiqah (bid’ah yang menjadikan pelakunya dihukumi fasik).

Selain itu bid’ah terbagi pula ke dalam: bid’ah muttafaq ’alaiha (yang disepakani diantara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, dan inilah bid’ah yang benar-benar bid’ah itu!), dan bid’ah mukhtalaf fiha (yang diperselisihkan di antara para ulama, dan yang wajib disikapi berdasarkan dan sesuai kaidah-kaidah penyikapan terhadap masalah-masalah khilafiyah pada umumnya [lihat materi Fiqhul Ikhtilaf oleh penulis, atau yang lainnya]).

Dua Catatan :

Pertama: Urgensi Materi Bid’ah

Pembahasan dan pengkajian tentang materi dan masalah bid’ah sangatlah penting dan sangat urgen sekali, dengan tujuan utama secara umum untuk menjaga dan memelihara kemurnian ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai manhaj (konsep dan pemahaman baku) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal itu baik dalam pemahaman, amal, dakwah, maupun penyikapan. Dan tingkat kebutuhan terhadap pembahasan dan pengkajian seputar tema bid’ah secara benar dan proporsional ini, bertambah dan semakin besar pada akhir-akhir ini, karena adanya beberapa faktor penyebab antara lain sebagai berikut:

  1. Dominan, meluas dan meratanya fenomena lemahnya ilmu dan langkanya para ulama (yang benar-benar berilmu syar’i yang haqq dan manhaji), yang mengakibatkan muncul dan banyaknya beragam kerancuan pemahaman dan penyikapan terhadap berbagai masalah, antara lain masalah bid’ah ini.
  2. Maraknya fenomena bid’ah di tengah-tengah masyarakat dengan bermacam-macam jenis, bentuk, dan tingkatannya, yang menuntut adanya kapasitas ilmu tertentu, bashirah (kejelasan persepsi) dan kewaspadaan, agar minimal tidak terjadi kebingungan dalam penyikapan terhadapnya, dan lebih-lebih lagi agar tidak terpengaruh dan terseret ke dalam arus bid’ah yang deras itu.
  3. Kerancuan yang terjadi akibat minimnya ilmu dan lemahnya pemahaman itu, semakin diperparah akhir-akhir ini, oleh maraknya fenomena kalangan yang mudah sekali dalam menjatuhkan hukum dan klaim bid’ah atas segala sesuatu, berdasarkan pandangan yang mensimplifikasikan (menyederhanakan) mafhum (pengertian) bid’ah dengan ungkapan global seperti misalnya: bahwa bid’ah adalah setiap hal yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, atau tidak pernah dilakukan oleh beliau. Sehingga segala sesuatu yang baru, tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, dan tidak pernah beliau lakukan, langsung dan serta merta dihukumi dan diklaim sebagai bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat itu di Neraka! Padahal masalahnya sebenarnya tidak sesederhana itu. Karena sederhana saja misalnya, seandainya setiap yang baru dan tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam itu, serta merta dihukumi sebagai bid’ah yang sesat, tentunya tidak perlu ada ijtihad lagi, dan para ulama mujtahid-pun tidak dibutuhkan lagi!
  4. Dan itu masih ditambah oleh sikap-sikap yang men-ta’mim (menggeneralisir) bid’ah, dan tidak memilah-milah serta tidak membeda-bedakan antara macam-macam bid’ah, tingkatan-tingkatannya, hukum-hukumnya, dan lain-lain. Misalnya antara bid’ah kubra dan bid’ah shughra, antara bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idhafiyah, antara bid’ah muttafaq ’alaiha dan bid’ah mukhtalaf fiha, dan seterusnya.
  5. Terbelahnya sikap banyak kalangan ummat Islam dalam hal bid’ah, menjadi dua kubu yang saling berseberangan dan berhadap-hadapan secara ghuluw (berlebihan) dan tatharruf (ekstrem), sehingga sangat sulit sekali – bahkan seakan-akan mustahil – untuk bisa dipertemukan dan disatukan. Dimana kubu pertama, berlebihan dan cenderung ekstrem dalam sikap longgar dan tasamuh (toleransi)-nya terhadap masalah dan fenomena bid’ah, yang berakibat semakin meluasnya wilayah bid’ah dari berbagai jenis dan tingkatan di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu kubu yang berada di seberang lain,ghulu dan cenderung tatharruf dalam kebencian dan ke-antipati-annya terhadap setiap bid’ah, yang membawanya pada sikap simplifikasi dan generalisasi yang disebutkan diatas.

Kedua : Kaidah-kaidah tentang Masalah Membid’ahkan

Ada masalah yang sangat penting sekali dan yang telah diisyaratkan diatas, yang memerlukan perhatian khusus, kewaspadaan serius dan kehati-hatian istimewa. Yakni masalah membid’ahkan atau menghukumi suatu amal, atau suatu ibadah, atau suatu aktivitas, atau semacamnya dengan hukum bid’ah. Begitu pula masalah sikap membid’ahkan atau menghukumi orang tertentu atau kelompok tertentu dengan hukum sebagai ahli bid’ah. Masalah ini sungguh sangat berbahaya, dan butuh perhatian serius! Apalagi jika mencermati fenomena sikap gegabah sebagian kalangan yang gampang sekali dalam menjatuhkan hukum bid’ah atas segala sesuatu. Ditambah lagi dengan maraknya fenomena sikap saling membid’ahkan di tengah keragaman kelompok, jamaah dan gerakan dakwah Islam saat ini. Karena kesalahan para pembid’ah yang membid’ahkan apa yang sebenarnya termasuk sunnah, secara umum sama bahayanya dengan kesalahan para pembuat dan pelaku bid’ah itu sendiri. Adapun bahaya sikap gegabah dalam membid’ahkan seseorang atau suatu kelompok, maka bisa diketahui antara lain dari kaidah bahwa, jika seseorang itu tidak berhati-hati dalam menghukumi orang lain atau kelompok lain sebagai ahli bid’ah, sehingga ternyata salah, maka hukum bid’ah itu bisa berbalik kepada diri yang bersangkutan sendiri (qiyas pada masalah takfir/pengkafiran yang disebutkan dalam beberapa hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Para ulama menyatakan bahwa, tidak semua yang tidak ada pada masa Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, atau tidak dilakukan oleh beliau, itu mesti langsung dan serta merta dihukumi sebagai bid’ah yang sesat. Demikian pula seseorang yang melakukan suatu kebid’ahan yang hakiki sekalipun, tidak mesti langsung dan serta merta diklaim dan dihukumi sebagai ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Karena untuk menjatuhkan hukum dimaksud, membutuhkan dua hal sekaligus : terpenuhinya syarat-syarat dan tidak adanya faktor-faktor penghalang! Intinya, ada beberapa hal dan kaidah yang harus diperhatikan dalam masalah ini, antara lain :

  1. Masalah membid’ahkan atau menjatuhkan hukum bid’ah adalah termasuk dalam cakupan tasyri’ (membuat hukum syariat) yang merupakan kewenangan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi wa Sallam. Maka pada prinsipnya, kita tidak boleh membid’ahkan apa-apa atau orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak ”dibid’ahkan” oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi wa Sallam.
  2. Oleh karenanya, sikap dasar yang harus dimiliki oleh seorang muslim dalam masalah ini adalah sikap kehati-hatian puncak. Karena memang sikap gampang membid’ah-bid’ahkan ini termasuk masalah besar dalam hukum Islam, dan dampaknya berbahaya sekali, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat Islam secara luas.
  3. Mengingat betapa pelik dan berbahayanya masalah menjatuhkan hukum bid’ah dan ahli bid’ah ini, maka yang berhak melakukannya hanyalah para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya. Karena masalah ini memang masuk dalam wilayah ijtihad.
  4. Menjatuhkan hukum bid’ah atas suatu amal atau suatu hal, dan juga hukum sebagai ahli bid’ah atas orang tertentu atau kelompok tertentu, haruslah didasarkan pada keyakinan penuh yang tidak menyisakansyubhat atau keragu-raguan sedikitpun terkait dengan telah terpenuhinya syarat-syaratnya dan tidak adanya faktor-faktor penghalangnya. Jadi, harus jelas dalilnya dan memang sesuai dengan fakta, tidak boleh didasarkan pada dugaan-dugaan atau asumsi-asumsi atau persepsi-persepsi yang tidak pasti atau tidak terbukti!
  5. Terhadap berbagai bentuk bid’ah – dan demikian pula berbagai bentuk penyimpangan lainnya – yang marak di tengah masyarakat, kita harus mengedepankan dan mendominankan sikap dan posisi sebagai juru dakwah dan bukan sebagai ”hakim”! Maka sangatlah tepat kiranya jika kita menjadikan judul buku salah seorang pemuka dakwah kontemporer sebagai slogan tetap kita, yakni: ”Du’aatun Laa Qudhaat!” (Kita adalah juru dakwah dan bukan hakim!).
  6. Kita wajib memahami sejak awal bahwa, bid’ah itu bukan hanya satu macam saja, melainkan bermacam-macam. Bid’ah juga tidak berada pada satu tingkatan dan satu derajat yang sama, namun berada pada tingkatan dan derajat yang berbeda-beda. Dan kita wajib ber-ta’amul (bersikap) dengan setiap bid’ah sesuai dengan macam, jenis dan tingkatannya  masing-masing, serta tidak melakukan ta’mim(generalisasi) dalam penilaian dan penyikapan terhadap semua bid’ah yang ada. Sehingga tidak dibenarkan misalnya kita menyikapi jenis bid’ah shughra sebagaimana kita menyikapi jenis bid’ah kubra. Begitu pula sangat tidak diterima jika kita memberlakukan bid’ah mukhtalaf fiiha (bid’ah  yang diperselisihkan) sama seperti perlakuan kita terhadap bid’ah muttafaq ’alaiha (bid’ah yang disepakati). Dan begitu seterusnya.
  7. Kita wajib membedakan dalam penilaian dan penyikapan antara bid’ah dan pelakunya, antara pelaku bid’ah dan tokoh pencetusnya, antara pelaku bid’ah pasif dan pelaku bid’ah aktif, antara pelaku bid’ah awam dan pelaku bid’ah ”ulama”, dan seterusnya.
  8. Kita harus senantiasa ingat kaidah yang mengatakan, bahwa tidak setiap orang yang melakukan kebid’ahan (yang jelas-jelas bid’ah sekalipun!) itu mesti diklaim sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah), sebagaimana tidak setiap pelaku kefasikan itu mesti dihukumi sebagai orang fasik, bahkan tidak setiap orang yang melakukan kekufuran dan kesyirikan itu mesti secara otomatis dipastikan sebagai orang kafir dan musyrik!. Begitu pula misalnya, ketika kita bersikap bara’ terhadap setiap bentuk kebid’ahan, atau kefasikan, atau kemaksiatan, tidak berarti sekaligus dan serta merta kita juga harus bersikap bara’secara sama terhadap pelakunya!
  9. Adapun terhadap mereka yang jelas-jelas dan tegas-tegas menghidupkan bid’ah – terutama bid’ah ideologis berupa penyimpangan-penyimpangan pemikiran dalam prinsip-prinsip ajaran Islam – maka kita juga harus bisa bersikap jelas dan tegas. Namun juga tetap harus hikmah, bijak dan proporsional, serta yang jelas tidak anarkis! Dengan demikian, kita memiliki sikap yang proporsional, kapan harus berhati-hati dan kapan harus bersikap tegas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts