Selasa, 25 Oktober 2011

Menjaga Semangat Membaca Al-Quran

Menjaga Semangat Membaca Al-Quran

Saya, seseorang yang sering kali merasa malas dalam ibadah. Giat, lalu malas lagi. Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini. Kalau hal ini terus terjadi berkepanjangan kan bahaya juga.
Setelah searching di internet, akhirnya nemu tulisan tentang tips menjaga semangat dalan membaca dan memahami al-Quran.
1. Karena kondisi semangat atau tidaknya diri kita dalam beraktivitas ini sangat bergantung sekali dengan mood, maka pompa rasa semangat itu pada waktu-waktu utama, yakni di antaranya waktu sepertiga malam atau pada waktu sholat tahajjud. Karena waktu itu, adalah saat-saat di mana jiwa kita masih kosong, ruh baru dikembalikan oleh Allah dan pikiran masih berada fitrahnya serta belum disibukkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan duniawi. Manfaatkan kesempatan itu untuk taqorrub kepada Allah, doa, munajat dan tentunya carge dengan ayat-ayat-Nya., sehingga di pagi harinya anda bisa bersemangat dalam memulai aktivitas harian.

Yang jadi pertanyaan bagaimana bisa bangun solat malam, sedangkan untuk menbaca Al-Qur’an pun susah. Caranya sebelum tidur lakukan amalan sunnah seperti berwudhu sebelum tidur, membaca doa dan surat tertentu seperti ayat kursi, doa tidur, an-nas, al-ikhlas dan al-falaq lalu diiringi doa kepada Allah agar Allah membangunkan kita di sepertiga malan terakhir. Kalau melalui alarm weker, sekeras apapun alarmnya, tapi jika Allah tidak membangunkan kita ditambah niatnya yang setengah-setengah, niscaya akan susah bangun. Ini pengalaman saya. Weker berulang kali berbunyi, tapi tetap saja malas bangun…heu
2. Jaga waktu-waktu sholat 5 waktu. Karena saat-saat itu adalah kesempatan untuk mengingat Allah swt. Dan perlu diingat bahwa zikrullah pada sholat adalah sebaik-baik kesempatan untuk menghilangkan rasa malas. Mohonkan pada Allah agar setiap desah nafas anda penuh dengan semangat untuk beramal baik sebanyak mungkin dan dihindari rasa malas urntuk melakukan hal apapun.
Yang ini juga sama harus diiringi doa agar bisa ontime dalam solat dan dzikrul maut utamanya. Mengingat kematian bisa datang kapan saja.. dan apa yang terjadi jika saat itu datang kita belum solat???
3. Luangkan waktu lebih lama untuk berada di dalam masjid usai sholat 5 waktu. Lakukan niat i’tikaf, menyendiri bersimpuh di hadapan dengan doa dan intropeksi. Dan jangan lupa lakukan ibadah baca al-Qur’an saat itu juga. Itulah aktivitas ibadah yang ideal, di dalam masjid.
Kalau berada di tempat kerja bagaimana? cara efektifnya sempatkan baca Al-Quran di sela-sela istirahat. Bukan kalau ada waktu kosong istirahat, tapi diagendakan. Karena kalau menunggu waktu kosong, niscaya waktu kita akan disibukkan oleh dunia hingga tidak tersisa waktu untuk ibadah.
4. Ketika anda melakukan pembacaan al-Qur’an seorang diri, gunakan waktu sebaik mungkin untuk mengetahui terjemahan ayat-ayat yang baru saja dibaca atau dihafal. Semakin banyak anda mengerti maksud ayat tersebut, Insya Allah rasa semangat itu akan meresap ke dalam tubuh anda. Karena al-Qur’an ini akan merangsang kita untuk selalu berkreasi dan termotivasi. Silahkan anda buktikan sendiri. Kandungannya tidak akan pernah membuat anda puas dan akan semakin membuat kita penasaran untuk memahami lebih jauh dan mendalam lagi.
Hal ini memang efektif sekali. Membaca al-Quran segaligus membaca artinya membuat kita takjub akan kandungannya dan semakin penasaran untuk menelesurinya lagi.
5. Lakukan tindakan. Karena ayat-ayat al-Qur’an yang kita baca merangsang diri kita untuk berbuat, bertindak, beraktivitas dan beramal sebanyak-banyaknya.
langsung membaca dan menhafalnya misalnya. tidak usah menunggu baik dulu untuk melakukan amal baik. tapi lakukan amal baik untuk menjadi baik.
6. Seharusnya ketika kita melakukan ibadah ritual, jiwa kita otomatis akan mendapatkan semangat yang luar biasa. Tapi justru banyak orang yang setelah beribadah, malah membuatnya malas beraktivitas dan bekerja. Apa yang salah?! Apa kurang baik dalam melakukannya, kurang meresapi arti ibadah itu, tidak khusyu dan tidak yakin dengan ibadah itu sehingga hanya sebagai gugur kewajiban saja dan tidak memberikan makna hakiki?!
Apa yang salah??? Yang saya rasakan karena ibadah hanya sebagai rutinitas bukan kebutuhan. Jadi jadikan ibadah sebagai kebutuhan hakiki, Solat sebagai kesempatan emas untuk bertemu dan merasakan kehadiran Sang pencipta Alam semesta, seakan ibadah sebagai solusi dari segala permasalahan yang ada. ya seperti halnya mencari uang untuk hidup, maka lakukan hal yang sama untuk ibadah.
7. Berhati-hati dengan pekerjaan yang bisa membuat kita malas dan tidak produktif, seperti kebanyakan nonton TV karena bisa membuat otak dan pikiran kita ‘diam’ dan malas, berteman dengan orang-orang yang kurang menghargai waktunya dan lainnya..
ya betul. Terkadang melakukan aktivitas ini membuat lalai dalam segala hal. ingat setan membuat hal yang buruk menjadi indah.. hati-hati bila terlena dengan suatu keasyikan duniawi..
8. Bergabung dan terlibat aktif dalam sebuah halaqoh, forum, komunitas, atau lembaga al-Qur’an (dan ini sudah banyak baik itu bentuknya konvensional atau juga secara online). Dan ini insya Allah akan selalu menjaga semangat kita dan senantiasa ada yang mengingatkan di kala rasa malas hinggap pada diri kita.
Benar sekali, biasanya pulang dari sana, langsung termotivasi untuk melakukan hal yang lebih. So, agendakan rutin datang ke majelis ilmu.
9. Banyak-banyak berdoa kepada Allah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw:
“ Ya Allah jadikanlah al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelenyap kesedihanku dan pelipur laraku.”(al-hadits)
Berlindung dari rasa malas dan mohon diteguhkan dalam semangat:
“Ya Allah sesungguhnya Aku berlindung kepada-Mu dari sifat gundah-gulana dan rasa sedih, berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan rasa malas….”(Doa Rasulullah saw)
Mari berdoa sekarang juga..
10. Yakin kepada Allah swt, karena Dialah yang mengaruniakan rasa semangat, bergairah untuk melakukan segala kebaikan dan ibadah dan menghilangkan rasa malas itu.
Berprasangka baik kepada Allah.. Catet, Allah sesuai prasangka hambanya..

Sumber tips: http://muntadaquran.net/v2/arsip/tahfizh/92-tips-mengatasi-kemalasan-dalam-membaca-dan-menghafal-al-quran.html

Tips menghilangkan malas

Nabi Muhammad SAW sering mengutarakan dalam doanya agar selalu terhindar dari sifat malas, berikut beberapa tips yang bisa dilakukan agar tidak malas (contoh dalam ibadah)
Ketahui, fahami dan hayati baik-baik apa keutamaan ibadah yang sering malas untuk kita lakukan, misal kita malas untuk baca Al-Quran. dengan mengetahui keutamaan-keutamaan Al-quran diantaranya dengan membaca 1 huruf dalam Al-quran akan mendapatkan satu kebaikan dll, kemudian setelah tahu, di fahami dan dihayati, maka insya Allah kita akan termotivasi untuk melakukannya. begitu juga misalkan kita malas untuk shalat fardu berjamaah di masjid, dengan mengetahui besarnya keutamaan shalat berjamaah di masjid dari pada shalat munfarid di rumah, maka kita insya Allah tidak akan malas lagi untuk beribadah.
Ubah lingkungan, bila kita dekat dengan orang-orang yang selalu membaca Al-Quran tiap hari nya maka insya Allah kita akan malu sendiri jika malas membaca Al-Quran, dan tentunya akan termotivasi untuk berfastabikul khairot dengan sesama teman selingkungan. Teringat sebuah perkataan, "barangsiapa berteman dengan penjual minyak wangi, maka ia akan terkena wanginya, namun barangsiapa berteman dengan penjual pisau, maka ia akan terkena dan merasakan bagaimana tajamnya pisau tersebut". Seseorang saat ini akan sama dengan dia 5 tahun kemudian kecuali perubahan yang disebabkan oleh lingkungan, buku dan action yang dilakukan.
Paksakan, ini adalah cara paling gampang yang sangat mungkin dilakukan, jika kita malas melaksanakan sesuatu, ibadah maupun muamalah, maka tekadkan dalam hati untuk segera melakukannya dengan sedikit melakukan paksaan pada diri. Kata orang sunda mah "Allahumma paksakeun" doa efektif untuk memulai sesuatu.


Insya Allah jika kita melaksanakan 3 tips diatas, semoga Allah Azza wa Jalla segera menghilangkan sifat malas yang kita miliki. Amiiin..

KIAT SUKSES MENGIKUTI PROGRAM TAHSIN TILAWAH DAN TAHFIZH AL QUR’AN


KIAT SUKSES MENGIKUTI PROGRAM TAHSIN TILAWAH DAN TAHFIZH AL QUR’AN
Belajar tahsin atua tahfiz al Qur’an sunguh berat tantangannya. Sebelum melakukannya tanyakan hal berikut:
Benarkah saya ingin belajar dengan serius?
Untuk apa saya mempelajarinya bila nantinya saya berhasil?
Siapkah saya menghadapi tantangan selama proses belajar?
Dapatkah saya mengatur waktu jika suatu saat kesibukan bertambah dan semakin padat?
Mampukah saya mempertahankan keinginan dan semangat minimal dalam waktu 5 bulan?
Sudahkah saya berdoa dengan khusyu kepada Allah agar sukses dalam program ini?

Kiat untuk suksesnya:
Usahakan hadir secara rutin dan disiplin dan jangan menggampangkan untuk tidak hadir. Sekali tak hadir maka semakin sering kita merasa/mendapatkan halangan untuk dapat hadir seterusnya.
Jaga hubungan baik dengan pembimbing kita, jaga pula kehormatannya sehingga barakah Allah pun menyertai majelis yang kita hadiri sehingga makin memudahkan kita mempelajari ajarannya.
Berusaha mengikuti semua petunjuk tahsin tilawah atau tahfidz al Qur’an sebaik mungkin. Rajin membaca al Qur’an untuk melemaskan lidah dan membiasakan diri terhadap al Qur’an dan rajin mendengar tilawah yang benar untuk mendapatkan gambaran makhrij yang tepat.
Fokus dalam membenahi huruf/tajwid yang paling tidak kita kuasai. Yakin pasti bisa teratasi dan rajin mengadukan masalah pada Allah sehingga kita semakin mudah mengatasi kesulitan tersebut.
Semangat untuk sesegera mungkin mengajarkan hasil belajar tersebut.

Untuk program tahfizh tambahan tips:
Kesadaran bahwa al Qur’an adalah hidayah yang lebih tinggi daripada sekedar membacanya. Karena itu hidayah tersebut perlu dipelihara.
Menghafal al Qur’an hanya bisa dilakukan dengan mengulang-ulangnya ribuan kali, karena itu jangan malas mengulang dan panjang angan-angan dengan sedikit mengulang dapat hafal selamanya.
Menghargai pencapaian hafalan agar tidak timbul rasa putus asa dan “mutung” alias mogok menghafal.
Keberhasilan hafalan bukan pada cepatnya mampu menghafal, namun pada lamanya kita mampu mempertahankan hafalan itu.
Usahakan untuk terikat dengan lingkungan yang menghafal al Qur’an untuk saling menyemangati dan mendukung.

Senin, 24 Oktober 2011

Tafsir Ayat Kursi (Al-Baqarah : 255)

“Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya, Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.s.,al-Baqarah:255)
Keutamaannya
Rasulullah SAW., menginformasikan kepada kita bahwa ayat kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam al-Qur’an karena memuat makna-makna tauhid, pengagungan serta keluasan sifat-sifat Allah Ta’ala. (Taysir:91)
Dalil-Dalil Tentang Keutamaannya
1. Hadits dari Ubay bin Ka’b bahwasanya Nabi SAW., berkata kepadanya, “Ayat apa yang paling agung di dalam Kitabullah?.” Dia berkata, “Aku menjawab, Allah dan Rasul-Nya-lah Yang Maha Mengetahui.” Hingga beliau mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, kemudian aku berkata, “Allâhu Lâ ilâha illa huwal Hayyul Qayyûm.” Dia berkata, “Lalu beliau menepuk dadanya sembari berkata, “Semoga ilmumu menjadi ringan, wahai Abul Mundzir!.” (HR.Muslim)
2. Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Rasulullah SAW., mengangkatku sebagai wakil untuk menjaga (mengutip) zakat Ramadlan, lalu seseorang datang kepadaku seraya membuang makanan yang ada di tangannya, lantas aku memungutnya sembari berkata, ‘Akan aku laporkan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu Abu Hurairah menceritakan tentang hadits tersebut, diantara isinya adalah, ‘Beliau bersabda, ‘Bila engkau akan beranjak ke tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursi karena sesungguhnya ia (dapat menjadikanmu) senantiasa mendapatkan penjagaan dari Allah dan syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Lalu Nabi SAW., bersabda kepadanya, “Dia telah berkata jujur padamu padahal seorang pembohong, itulah syaithan.” (HR.al-Bukhari)
Demikian sebagian hadits yang shahih terkait dengan keutamaannya. Sebenarnya banyak sekali dalil-dalil yang terkait dengan keutamaan ayat yang agung ini bahkan beragam karya tulis dikarang mengenai keutamaan dan penafsirannya.
Temanya
Yaitu, mengagungkan Allah, menyinggung perihal bertauhid kepada-Nya dan Qudrat-Nya.
Kapan Dibaca
Dianjurkan membaca ayat Kursi seusai setiap shalat fardlu, ketika akan tidur dan dibaca di dalam rumah untuk mengusir syaithan (sebagaiman telah disinggung di atas).
Ayat agung yang memuat makna-makna paling agung yang mengisi hati dengan rasa takut kepada Allah, terhadap kemuliaan dan kesempurnaan-Nya ini memang berhak untuk menjadi ayat al-Qur’an yang paling agung dan berhak pula mengisi hati pembacanya dengan keyakinan dan keimanan serta mendapatkan pemeliharaan Allah dari syaithan manakala diiringi dengan tadabbur dan pemahaman terhadap maknanya.
Kandungan Ayat Semua ayat ini mengandung faedah, bahkan tiap katanya mengandung banyak sekali faedah. Diantara yang paling penting dan besar adalah:
a. Bahwa ayat Kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam Kitabullah secara umum karena ia memuat banyak sekali asma-asma Allah dan sifat-sifat-Nya.
b. Kesempurnaan Qayyûm-Nya, Qudrat-Nya, keluasan kekuasaan dan keagungan-Nya sehingga hal ini mengajak kita untuk mentadabburi dan merenungkannya.
c. Bahwa tidak terselubung dan luput satupun yang tersembunyi di muka bumi ataupun di langit oleh Allah Ta’ala “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.” Hal ini mengandung konsekuensi keharusan seorang Muslim untuk menghayatinya di dalam seluruh kehidupannya.
d. Menetapkan adanya syafa’at dan bahwa ia tidak akan dapa diraih kecuali dengan beberapa persyaratan, diantaranya idzin dan ridla-Nya terhadap hal yang disyafa’ati, “Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
(SUMBER: Silsilah Manâhij Dawrât al-‘Ulûm asy-Syar’iyyah – Fi`ah an-Nâsyi`ah- karya Dr.Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, h. 36-40)
alsofwa.or.id

Tafsir Surat al-'Ashr (Wal 'Ashri)

Demi masa,[1].
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,[2].
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”[3]

Info Umum
Surat ini diturunkan di kota Mekkah dan ayatnya berjumlah 3 ayat
Keutamaannya
Ath-Thabarany meriwayatkan di dalam al-Mu’jam al-Awsath (no.5097) dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin Hishn, dia berkata, “Ada dua orang shahabat Rasulullah SAW., yang bila saling bertemu, tidak berpisah kecuali salah satunya membacakan kepada yang lainnya surat al-‘Ashr hingga selesai, kemudian masing-masing saling memberi salam.” Imam asy-Syâfi’iy berkata, “Andaikata manusia hanya mentadabburi (merenungi) surat ini saja, tentu sudah cukup bagi mereka.”
Di dalam surat yang agung ini jelaslah bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Dengan dua hal pertama (iman dan amal shalih), seorang hamba dapat melengkapi dirinya sendiri sedangkan dengan dua hal berikutnya dia dapat melengkapi orang lain dan dengan melengkapi keempat-empatnya, maka jadilah seorang hamba orang yang terhindar dari kerugian dengan meraih keuntungan yang besar. Inilah yang tentunya akan selalu diupayakan oleh seorang insan yang berakal di dalam kehidupannya.
Pesan Moral Surat Ini
1. Bahwa Allah berhak untuk bersumpah dengan makhluk-Nya mana saja yang dikehendaki-Nya sedangkan seorang hamba tidak boleh bersumpah selain dengan (atas nama) Khaliqnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah melakukan kekufuran atau berbuat kesyirikan.”
2. Semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
3. Iman semata yang hampa dari amal, tidak akan berguna bagi pemiliknya.
4. Keutamaan berdakwah kepada Allah Ta’ala dan saling nasehat-menasehati.
5. Keutamaan sabar dengan semua jenis-jenisnya, khususnya terhadap hal yang dialami oleh seorang Muslim sebagai resiko yang harus dihadapinya di dalam berdakwah kepada Rabbnya, baik berupa perkataan, tindakan secara fisik, terhadap hartanya ataupun anaknya.
(SUMBER: Silsilah Manâhij Dawrât asy-Syar’iyyah- at-Tafsîr- Fi`ah an-Nâsyi`ah oleh Dr.Ibrâhim al-Huwaimil, h.47-49)
alsofwa.or.id

Tafsir Surat Al-Fatihah

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,[1].
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam,[2].
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,[3].
Yang menguasai hari pembalasan,[4].
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,[5].
Tunjukilah kami jalan yang lurus,[6].
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[7]."

Beberapa Penjelasan
A. Status Surat

Surat ini adalah surat Makkiyyah berdasarkan pendapat mayoritas ulama. (Tafsîr al-Baghawiy:1/16; al-Muharrir al-Wajîz:1/61)
B. Nama Surat
Surat ini memiliki nama yang banyak sekali dan ini menunjukkan kemuliaan dan keagungannya, sebab banyak nama menunjukkan kemuliaan si empunya nama itu.
Diantara nama-namanya yang masyhur:
- Fâtihah al-Kitâb
- Ummul Kitâb
- Al-Qur`ân al-'Azhîm
- Ummul Qur`ân
- As-Sab'ul Matsâniy
C. Keutamaannya
Surat ini memiliki keutamaan yang agung dan telah dijelaskan mengenainya oleh banyak hadits, diantaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh 'Ubâdah bin ash-Shâmit dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang bersabda, "Tidak (sah/sempurna) shalat seorang yang tidak membaca Fâtihah al-Kitab (Pembuka Kitabullah, al-Fâtihah)." (Shahîh al-Jâmi', kitab al-Adzân:1/184)
2. Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Allah Ta'ala berfirman, 'Aku telah membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku dengan dua bagian; separuhnya untuk-Ku dan separuhnya lagi untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.
Bila seorang hamba mengucapkan, 'al-Hamdulillâhi Rabbil 'Alamîn.' Allah Ta'ala menjawab, 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.'
Dan bila dia mengucapkan, 'ar-Rahmânir Rahîm.' Allah Ta'ala menjawab, 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.'
Dan bila dia mengucapkan, 'Mâliki Yawmid Dîn.' Allah Ta'ala menjawab, 'Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.'
Dan bila dia mengucapkan, 'Iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în.' Allah Ta'ala menjawab, 'Inilah (bagian) yang diantara-Ku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.'
Dan bila dia mengucapkan, 'Ihdinash Shirâthal Mustaqîm Shirâthal Ladzîna An'amta 'alaihim Ghairil Maghdlûbi 'alaihim wa ladl Dlâllîn.' Allah Ta'ala menjawab, 'Inilah yang buat hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya." (HR.Muslim)
Dan banyak lagi hadits lainnya yang shahih mengenai keutamaan surat ini.
D. Keutamaan Ucapan " Amîn "
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhâriy, terdapat hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Bila Imam mengucapkan 'Waladl Dlâllîn', maka katakanlah 'Amîn', sebab siapa saja yang pengaminannya bertepatan dengan pengaminan Malaikat, maka akan diampuni baginya dosa-dosa terdahulu." (HR.al-Bukhâriy)
Sedangkan di dalam Shahîh Muslim, disebutkan, "Bila Imam mengucapkan 'Waladl Dlâllin', maka katakanlah 'Amîn', niscaya Allah akan menjawab (mengabulkan bagi) kamu." (HR.Muslim)
E. Membacanya Di Dalam Shalat
Membaca al-Fâtihah wajib hukumnya bagi setiap Muslim pada setiap raka'at shalat dan tidak dapat diganti dengan membaca terjemahan atau lainnya.
Membacanya adalah termasuk rukun shalat, baik yang fardlu maupun sunnah dan hendaknya bagi makmum pada shalat Jahriyyah (yang dinyaringkan bacaannya), membacanya dengan Sirr (pelan, tidak nyaring).
(Mengenai hukum membaca surat al-Fâtihah dalam shalat ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama-red.,)
F. Makna Kalimat
"Alhamdu" artinya sanjungan/pujian atas Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan dan sifat-sifat yang memang Dia layak atasnya.
"Lillâhi" artinya Dia-lah Yang dituhankan dan disembah, Yang berhak untuk diesakan di dalam beribadah terhadap-Nya.
"Rabb" artinya al-Murabbi, yaitu al-Mâlik (Pemilik). "Rabb" adalah nama dari nama-nama Allah Ta'ala dan penggunaan kata ini di dalam bahasa Arab untuk selain-Nya hanya dalam bentuk Mudlâf (Majemuk), seperti ungkapan, "Rabbud Dâr" (pemilik/tuan rumah), dan sebagainya.
"al-'Alamîn" artinya semua yang selain Allah (alam semesta)
"ar-Rahmânir Rahîm" yaitu dua nama yang menunjukkan bahwa Dia Ta'ala adalah Pemilik rahmat (Maha pengasih) yang amat luas dan agung.
"Mâliki Yawmid Dîn" yakni hari Kiamat. Dinamakan dengan Yawmud Dîn karena Allah Ta'ala menyuruh mereka beribadah dengan amal-amal mereka; bila baik, maka baik balasannya dan bila buruk, maka buruk balasannya. Dan makna Mâliki Yawmid Dîn adalah bahwa semua perintah itu adalah hanya untuk Allah dan amat tampak sekali secara sempurna bagi para makhluk kesempurnaan kepemilikan-Nya dan terputusnya kepemilikan para makhluk.
"Iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în" yakni kita tidak menyembah kecuali Allah semata dan kita tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya, sehingga kita mengkhususkannya di dalam beribadah dan meminta pertolongan serta meninggalkan selain-Nya. 'Ibadah adalah sebutan yang mencakup setiap perkataan, perbuatan lahir dan batin yang dicintai Allah dan diridlai-Nya. Sedangkan arti Isti'ânah (minta tolong) adalah berpegang kepada Allah di dalam mendapatkan manfa'at dan menolak hal yang membahayakan disertai kepercayaan terhadap-Nya di dalam mendapatkan hal itu. sedangkan kenapa 'ibadah didahulukan atas Isti'ânah adalah sebagai bentuk perhatian di dalam mendahulukan hak-Nya di atas hak hamba-Nya.
"Ihdinash Shirâthal Mustaqîm" yakni tunjukkan dan berilah kami petunjuk serta taufiq. Ash-Shirâth al-Mustaqîm adalah jalan yang dijelaskan dan menyampaikan kepada Allah, yaitu Islam dan jalan orang-orang yang diberi nikmat kepada mereka, yaitu dari kalangan para Nabi, orang-orang yang jujur, syuhada dan orang-orang yang shalih.
"Ghairil Maghdlûbi 'Alaihim" yaitu orang-orang yang mengenal al-Haq namun meninggalkannya seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan orang-orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya.
"Waladl Dlâllîn" , yaitu orang-orang Nashrani dan siapa saja yang menyembah Allah dalam kondisi jahil dan sesat. v "Amîn" , ini tidak termasuk ayat dalam surat al-Fâtihah, maknanya adalah Ya Allah, perkenankanlah. Dianjurkan bagi Imam untuk mengucapkannya, demikian juga dengan Makmum dan orang yang shalat sendirian.
Sekalipun surat ini ringkas namun mengandung hal yang tidak satu suratpun dari surat-surat di dalam al-Qur'an mengandungnya. Ia mengandung jenis-jenis tauhid; tauhid Rubûbiyyah, yaitu pada firman-Nya "Rabbil 'Alamîn"; tauhid Ulûhiyyah, yaitu diambil dari lafazh al-Jalâlah "Allâh" dan dari firman-Nya "Iyyâka Na'budu Wa Iyyâka Nasta'în"; tauhid Asmâ` dan Shifât , yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah. Dalam hal ini melalui penetapan pujian terhadap-Nya dan hal lainnya.
G. Kandungan Surat
Penetapan tiga jenis tauhid.
Penetapan kenabian, yaitu pada firman-Nya "Ihdinash Shirâthal Mustaqîm" sebab hal ini tidak mungkin dicapai tanpa adanya risalah (kerasulan).
Penetapan adanya balasan dan hisab terhadap amal-amal, yaitu pada firman-Nya "Mâliki Yawmid Dîn".
Bahwa shalat yang tidak dibaca di dalamnya surat al-Fâtihah dianggap kurang (Khidâj).
Surat ini mengandung doa-doa yang paling komplit dan paling bermanfa'at bagi seorang hamba, yaitu "Ihdinash Shirâthal Mustaqîm". Oleh karena itu, seseorang wajib berdoa kepada Allah pada setiap raka'at dari shalatnya karena dia menghajatkan hal itu.
sumber : Silsilah Manâhij Dawrâh al-'Ulûm asy-Syar'iyyah -at-Tafsîr- karya Dr. Ibrâhim bin Sulaiman al-Huwaimil, h.30-35)
alsofwa.or.id

Senin, 10 Oktober 2011

Keutamaan Mengkhatamkan Al-Qur’an




Dari Ibnu Abbas r.a., beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

Generasi sahabat dapat menjadi generasi terbaik (baca; khairul qurun) adalah karena mereka memiliki ihtimam yang sangat besar terhadap Al-Qur’an. Sayid Qutub dalam bukunya Ma’alim Fii Ath-Thariq menyebutkan tiga faktor yang menjadi rahasia mereka mencapai generasi terbaik seperti itu. Pertama karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pegangan hidup, sekaligus membuang jauh-jauh berbagai sumber-sumber kehidupan lainnya. Kedua, ketika membacanya mereka tidak memiliki tujuan-tujuan untuk tsaqafah, pengetahuan, menikmati keindahan ataupun tujuan-tujuan lainnya. Namun tujuan mereka hanya semata-mata untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliyah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran ataupun kebudayaan.

Tilawatul qur’an; itulah kunci utama kesuksesan mereka. Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan, “Usahakan agar Anda memiliki wirid harian yang diambil dari kitabullah minimal satu juz per hari dan berusahalah agar jangan mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari sebulan dan jangan kurang dari tiga hari.”

Keutamaan Membaca al-Qur’an

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi memaparkan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya:

1. Akan menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.

Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

2. Mendapatkan predikat insan terbaik.

Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Tirmidzi)

3. Mendapatkan pahala akan bersama malaikat di akhirat, bagi yang mahir mambacanya.

Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Mendapatkan pahala dua kali lipat, bagi yang belum lancar.

“Dan orang yang membaca Al-Qur’an, sedang ia masih terbata-bata lagi berat dalam membacanya, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

5. Akan diangkat derajatnya oleh Allah

Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah saw. bersabda,: “Sesungguhnya Allahswt. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)

6. Mendapatkan sakinah, rahmat, dikelilingi malaikat, dan dipuji Allah di hadapan makhluk-Nya.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketengangan, akan dilingkupi pada diri mereka dengan rahmat, akan dilingkari oleh para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR. Muslim)

Keutamaan mengkhatamkan al-Qur’an

a. Merupakan amalan yang paling dicintai Allah

Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

b. Orang yang mengikuti khataman Al-Qur’an, seperti mengikuti pembagian ghanimah

Dari Abu Qilabah, Rasulullah saw. mengatakan, “Barangsiapa yang menyaksikan (mengikuti) bacaan Al-Qur’an ketika dibuka (dimulai), maka seakan-akan ia mengikuti kemenangan (futuh) fi sabilillah. Dan barangsiapa yang mengikuti pengkhataman Al-Qur’an maka seakan-akan ia mengikuti pembagian ghanimah.” (HR. Addarimi)

c. Mendapatkan doa/shalawat dari malaikat

Dari Mus’ab bin Sa’d, dari Sa’d bin Abi Waqas, beliau mengatakan, “Apabila Al-Qur’an dikhatamkan bertepatan pada permulaan malam, maka malaikat akan bersalawat (berdoa) untuknya hingga subuh. Dan apabila khatam bertepatan pada akhir malam, maka malaikat akan bershalawat/ berdoa untuknya hingga sore hati.” (HR. Addarimi.)

d. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sunnah Rasulullah saw. Hal ini tergambar dari hadits berikut: Dari Abdullah bin Amru bin Ash, beliau berkata, “Wahai Rasulullah saw., berapa lama aku sebaiknya membaca Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam satu bulan.” Aku berkata lagi, “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” “Aku masih lebih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin bagiku. (HR. Tirmidzi)

Waktu mengkhatamkan Al-Qur’an

a. Keutamaan waktu yang dibutuhkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an

Dari Abdullah bin Amru bin Ash, dari Rasulullah saw., beliau berkata, “Puasalah tiga hari dalam satu bulan.” Aku berkata, “Aku mampu untuk lebih banyak dari itu, wahai Rasulullah.” Namun beliau tetap melarang, hingga akhirnya beliau mengatakan, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan bacalah Al-Qur’an (khatamkanlah) dalam sebulan.” Aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau terus malarang hingga batas tiga hari. (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan batasan waktu paling minimal dalam membaca Al-Qur’an. Karena dalam hadits lain terkadang beliau membatasi hanya boleh dalam 5 hari, dan dalam hadits yang lain dalam tujuh hari. Maka dari sini dapat disimpulkan, batasan paling cepat dalam mengkhatamkan Al-qur’an adalah tiga hari.

b. Larangan untuk mengkhatamkan kurang dari tiga hari

Hadits di atas juga mengisyaratkan larangan Rasulullah saw. untuk mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Hikmah di balik larangan tersebut, Rasulullah saw. katakan dalam hadits lain sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Amru, beliau mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan dapat memahami/menghayati Al-Qur’an, orang yang membacanya kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud)

c. Rasulullah saw. tidak pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam

Dari Aisyah ra, beliau mengatakan, “Aku tidak pernah tahu Rasulullah saw. mengkhatamkan Al-Qur’an secara keseluruhan pada malam hingga fajar.” (HR. Ibnu Majah)

Sunnah dalam teknis mengkhatamkan Al-Qur’an

Adalah Anas bin Malik, beliau memiliki kebiasaan apabila telah mendekati kekhataman dalam membaca Al-Qur’an, beliau menyisakan beberapa ayat untuk mengajak keluarganya guna mengkhatamkan bersama.

Dari Tsabit al-Bunnani, beliau mengatakan bahwa Anas bin Malik jika sudah mendekati dalam mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam hari, beliau menyisakan sedikit dari Al-Qur’an, hingga ketika subuh hari beliau mengumpulkan keluarganya dan mengkhatamkannya bersama mereka. (HR. Darimi)

Hikmah yang dapat dipetik dari hadits Anas di atas, adalah bahwa ketika khatam Al-Qur’an merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga, akan dapat memberikan berkah kepada seluruh anggota keluarga. Karena, semuanya berdoa secara bersamaan kepada Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari-Nya.

Kiat-Kiat Agar Senantiasa Dapat Mengkhatamkan Al-Qur’an

Ada beberapa kiat yang barangkali dapat membantu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, di antaranya adalah:

1. Memiliki ‘azam’ yang kuat untuk dapat mengkhatamkannya dalam satu bulan. Atau dengan kata lain memiliki azam untuk membacanya satu juz dalam satu hari.

2. Melatih diri dengan bertahap untuk dapat tilawah satu juz dalam satu hari. Misalnya untuk sekali membaca (tanpa berhenti) ditargetkan setengah juz, baik pada waktu pagi ataupun petang hari. Jika sudah dapat memenuhi target, diupayakan ditingkatkan lagi menjadi satu juz untuk sekali membaca.

3. Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an yang tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika terdapat sebuah urusan yang teramat sangat penting. Hal ini dapat membantu kita untuk senantiasa komitmen membacanya setiap hari. Waktu yang terbaik menurut penulis adalah ba’da subuh.

4. Menikmati bacaan yang sedang dilantunkan oleh lisan kita. Lebih baik lagi jika kita memiliki lagu tersendiri yang stabil, yang meringankan lisan kita untuk melantunkannya. Kondisi seperti ini membantu menghilangkan kejenuhan ketika membacanya.

5. Usahakan untuk senantiasa membersihkan diri (baca: berwudhu’) terlebih dahulu sebelum kita membaca Al-Qur’an. Karena kondisi berwudhu’, sedikit banyak akan membantu menenangkan hati yang tentunya membantu dalam keistiqamahan membaca Al-Qur’an.

6. Membaca-baca kembali mengenai interaksi generasi awal umat Islam, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik dari segi tilawah, pemahaman ataupun pengaplikasiannya.

7. Memberikan iqab atau hukuman secara pribadi, jika tidak dapat memenuhi target membaca Al-Qur’an. Misalnya dengan kewajiban infaq, menghafal surat tertentu, dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan kondisi pribadi kita.

8. Diberikan motivasi dalam lingkungan keluarga jika ada salah seorang anggota keluarganya yang mengkhatamkan al-Qur’an, dengan bertasyakuran atau dengan memberikan ucapan selamat dan hadiah.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sifat Rasulullah, para sahabat, salafuna shaleh, dan orang-orang mukmin yang memiliki ketakwaan kepada Allah. Seyogyanya, kita juga dapat memposisikan Al-Qur’an sebagaimana mereka memiliki semangat, meskipun kita jauh dari mereka.

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (An-Ankabut: 69).

www.dakwatuna.com

Sedekah Yang Paling Utama

Shadaqah adalah baik seluruhnya, namun antara satu dengan yang lain berbeda keutamaan dan nilainya, tergantung kondisi orang yang bersedekah dan kepentingan proyek atau sasaran shadaqah tersebut. Di antara shadaqah yang utama menurut Islam adalah sebagai berikut:

1. Shadaqah Sirriyah

Yaitu shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Shadaqah ini sangat utama karena lebih medekati ikhlas dan selamat dari sifat pamer. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2:271)

Yang perlu kita perhatikan di dalam ayat di atas adalah, bahwa yang utama untuk disembunyikan terbatas pada shadaqah kepada fakir miskin secara khusus. Hal ini dikarenakan ada banyak jenis shadaqah yang mau tidak mau harus tampak, seperti membangun sekolah, jembatan, membuat sumur, membekali pasukan jihad dan lain sebagainya.

Di antara hikmah menyembunyikan shadaqah kepada fakir miskin adalah untuk menutup aib saudara yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak diketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada di bawah, bahwa dia orang papa yang tak punya sesuatu apa pun.Ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam ihsan terhadap orang fakir.

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memuji shadaqah sirriyah ini, memuji pelakunya dan memberitahukan bahwa dia termasuk dalam tujuh golongan yang dinaungi Allah nanti pada hari Kiamat. (Thariqul Hijratain)

2. Shadaqah Dalam Kondisi Sehat

Bersedekah dalam kondisi sehat dan kuat lebih utama daripada berwasiat ketika sudah menjelang ajal, atau ketika sudah sakit parah dan tipis harapan kesembuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Shadaqah yang paling utama adalah engkau bershadaqah ketika dalam keadaan sehat dan bugar, ketika engkau menginginkan kekayaan melimpah dan takut fakir. Maka jangan kau tunda sehingga ketika ruh sampai tenggorokan baru kau katakan, "Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian." (HR.al-Bukhari dan Muslim)

3. Shadaqah Setelah Kebutuhan Wajib Terpenuhi

Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. 2:219)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Tidak ada shadaqah kecuali setelah kebutuhan (wajib) terpenuhi." Dan dalam riwayat yang lain, "Sebaik-baik shadaqah adalah jika kebutuhan yang wajib terpenuhi." (Kedua riwayat ada dalam al-Bukhari)

4. Shadaqah dengan Kemampuan Maksimal

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alihi wasallam,
"Shadaqah yang paling utama adalah (infak) maksimal orang yang tak punya. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Abu Dawud)

Beliau juga bersabda,
"Satu dirham telah mengalahkan seratus ribu dirham." Para sahabat bertanya," Bagaimana itu (wahai Rasululullah)? Beliau menjawab, "Ada seseorang yang hanya mempunyai dua dirham lalu dia bersedakah dengan salah satu dari dua dirham itu. Dan ada seseorang yang mendatangi hartanya yang sangat melimpah ruah, lalu mengambil seratus ribu dirham dan bersedekah dengannya." (HR. an-Nasai, Shahihul Jami')

Al-Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, "Hendaknya seseorang memilih untuk bersedekah dengan kelebihan hartanya, dan menyisakan untuk dirinya kecukupan karena khawatir terhadap fitnah fakir. Sebab boleh jadi dia akan menyesal atas apa yang dia lakukan (dengan infak seluruh atau melebihi separuh harta) sehingga merusak pahala. Shadaqah dan kecukupan hendaknya selalu eksis dalam diri manusia. Rasululllah shallallahu ‘alihi wasallam tidak mengingkari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuyang keluar dengan seluruh hartanya, karena Nabi tahu persis kuatnya keyakinan Abu Bakar dan kebenaran tawakkalnya, sehingga beliau tidak khawatir fitnah itu menimpanya sebagaimana Nabi khawatir terhadap selain Abu Bakar. Bersedekah dalam kondisi keluarga sangat butuh dan kekurangan, atau dalam keadaan menanggung banyak hutang bukanlah sesuatu yang dikehendaki dari sedekah itu. Karena membayar hutang dan memberi nafkah keluarga atau diri sendiri yang memang butuh adalah lebih utama. Kecuali jika memang dirinya sanggup untuk bersabar dan membiarkan dirinya mengalah meski sebenarnya membutuhkan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan juga itsar (mendahulukan orang lain) yang dilakukan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin.” (Syarhus Sunnah)

5. Menafkahi Anak Istri

Berkenaan dengan ini Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Seseorang apabila menafkahi keluarganya dengan mengharapkan pahalanya maka dia mendapatkan pahala sedekah." ( HR. al-Bukhari dan Muslim)

Beliau juga bersabda,
"Ada empat dinar; Satu dinar engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar engkau berikan untuk memerdekakan budak, satu dinar engkau infakkan fi sabilillah, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu. Dinar yang paling utama adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu." (HR. Muslim).



6. Bersedekah Kepada Kerabat

Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu memiliki kebun kurma yang sangat indah dan sangat dia cintai, namanya Bairuha'. Ketika turun ayat,
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai." (QS. 3:92)

Maka Abu Thalhah mendatangi Rasulullah dan mengatakan bahwa Bairuha' diserahkan kepada beliau, untuk dimanfaatkan sesuai kehendak beliau. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam menyarankan agar ia dibagikan kepada kerabatnya. Maka Abu Thalhah melakukan apa yang disarankan Nabi tersebut dan membaginya untuk kerabat dan keponakannya.(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam juga bersabda,
"Bersedakah kepada orang miskin adalah sedekah (saja), sedangkan jika kepada kerabat maka ada dua (kebaikan), sedekah dan silaturrahim." (HR. Ahmad, an-Nasa'i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Secara lebih khusus, setelah menafkahi keluarga yang menjadi tanggungan, adalah memberikan nafkah kepada dua kelompok, yaitu:

Anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
”(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.” (QS. 90:13-16)
Kerabat yang memendam permusuhan, sebagaimana sabda Nabi,
"Shadaqah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam permusuhan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzai, Shahihul jami')
7. Bersedekah Kepada Tetangga

Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam surat an-Nisa' ayat 36, di antaranya berisikan perintah agar berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. Dan Nabi juga telah bersabda memberikan wasiat kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
"Jika engkau memasak sop maka perbanyaklah kuahnya, lalu bagilah sebagiannya kepada tetanggamu." (HR. Muslim)

8. Bersedekah Kepada Teman di Jalan Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang untuk keluarganya, dinar yang dinafkahkan seseorang untuk kendaraannya (yang digunakan) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan seseorang kepada temannya fi sabilillah Azza wa Jalla." (HR. Muslim)

9. Berinfak Untuk Perjuangan (Jihad) di Jalam Allah

Amat banyak firman Allah subhanahu wata’ala yang menjelaskan masalah ini, di antaranya,
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah.” (QS. 9:41)

Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. 49:15)

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Barang siapa mempersiapkan (membekali dan mempersenjatai) seorang yang berperang maka dia telah ikut berperang." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Namun perlu diketahui bahwa bersedekah untuk kepentingan jihad yang utama adalah dalam waktu yang memang dibutuhkan dan mendesak, sebagaimana yang terjadi pada sebagian negri kaum Muslimin. Ada pun dalam kondisi mencukupi dan kaum Muslimin dalam kemenangan maka itu juga baik akan tetapi tidak seutama dibanding kondisi yang pertama.

10. Shadaqah Jariyah

Yaitu shadaqah yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang bersedekah telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Jika manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal; Shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaat dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim).

Di antara yang termasuk proyek shadaqah jariyah adalah pembangunan masjid, madrasah, pengadaan sarana air bersih dan proyek-proyek lain yang dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat.

Sumber: Buletin “Ash-Shadaqah fadhailuha wa anwa’uha”, Ali bin Muhammad al-Dihami.

http://www.lazyaumil.org/

Interaksi dengan Al-Quran

17motivasiMentadabburi Al-Quran merupakan kewajiban dan berinteraksi dengannya merupakan sesuatu keharusan sedangkan hidup di bawah naungannya merupakan kenikmatan yang tidak dapat dimiliki kecuali orang yang dapat merasakannya, kenikmatan yang memberikan keberkahan hidup, mengangkat dan mensucikannya… hal ini tidak akan dirasakan kecuali bagi siapa yang benar-benar hidup di bawah naungannya, merasakan berbagai kenikmatan yang bisa dirasakan, mengambil dari apa yang dapat diraih; kelembutan, kebahagiaan, ketenangan, ketenteraman, kenyamanan dan kelapangan. (lihat mukadimah penerbit dari Fi Zhilalil Quran dan Biodata Sayyid Quthub pada surat Al-A’raf)
Di sini kami ingin memberikan kepada pembaca yang budiman ungkapan-ungkapan yang baik dan bermutu tentang pengalaman nyata yang dilalui dan dirasakan oleh seorang pemikir muslim kontemporer Asy-Syahid Sayyid Quthub yang direkam dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran, kami akan meringkas ungkapan-ungkapan tersebut sesuai dengan kebutuhan zaman dan dapat memberikan penerangan bagi para pembaca jalan yang benar dalam rangka mentadabburi Al-Quran dan memahaminya, menelaah teori yang benar dalam berinteraksi dengan Al-Quran, hidup di bawah naungannya.
Teori ini harus diketahui oleh kaum muslimin, agar mereka dapat memahami kunci pergerakan guna membuka rahasia-rahasia pergerakan Al-Quran yang sangat berharga. Seruan yang selalu dikumandangkan oleh ustadz Sayyid Quthub, dengan teori yang baru; memahami, mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran, yaitu teori “Tafsir Pergerakan” yang oleh Ustadz Sayyid Quthub dianggap sebagai puncak yang memberikan penjelasan hingga perkara yang mendasar, peletak madrasah “tafsir pergerakan” yang menjadikan Al-Quran hidup dengan nyata dan memberi pengaruh positif bagi kaum muslimin kontemporer.
Allah telah menganugerahkan kepadanya kunci yang fundamental “kunci pergerakan” yang dapat membuka rahasia-rahasia Al-Quran, yang ingin dihadirkan dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran… (Lihat “Al-Manhaj Al-Haraki Fi Ad-Zhilal”).
Sesungguhnya masalah –dalam memahami petunjuk-petunjuk Al-Quran dan sentuhan-sentuhannya- bukanlah terletak pada pemahaman lafazh dan kalimat-kalimatnya, bukan pada “ tafsir Al-Quran – sebagaimana yang kita sangka !- masalahnya bukanlah demikian…namun kesiapan jiwa dengan menghadirkan perasaan, indra dan pengalaman : persis seperti kesiapan perasaan, indra dan pengalaman saat diturunkannya Al-Quran, yang selalu menyertai kehidupan jamaah muslimah yang selalu bergelut dalam peperangan…bergelut dalam jihad, jihadun nafs –jihad melawan hawa nafsu- jihadun nas –jihad melawan manusia-…jihad melawan nafsu angkara dan jihad melawan musuh…usaha dan pengorbanan, takut dan harap, kuat dan lemah, jatuh dan bangkit…lingkungan Mekah, Dakwah yang berkembang, minoritas dan lemah, asing di tengah-tengah manusia..lingkungan yang terkucil dan terkepung, lapar dan khawatir, tertekan dan terusir, dan ter embargo –terputus- kecuali hanya mengharap dari Allah…
Kemudian lingkungan Madinah : lingkungan pergerakan pertama bagi masyarakat muslim antara tipu daya, kemunafikan, disiplin dan kebebasan…suasana perang Badar, Uhud, Khandak, dan perjanjian Hudaibiyah…Suasana “Al-Fatah” kemenangan, perang Hunain, Tabuk, dan suasana pertumbuhan umat Islam, perkembangan sistem kemasyarakatan, persatuan yang hidup antara perasaan, kemaslahatan dan prinsip dalam memuliakan pergerakan dan dalam naungan sistem.
Dalam suasana seperti itu saat diturunkan di dalamnya ayat-ayat Al-Quran memberi kehidupan yang baik dan faktual…kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, petunjuk-petunjuk dan sentuhan-sentuhannya…dalam suasana seperti ini yang menyertai awal usaha pelaksanaan kehidupan Islam yang baru, Al-Quran dengan kandungannya membukakan hati, memberikan rahasia-rahasianya, menyebarkan keharuman, dan membimbing kepada petunjuk dan cahaya…” (Khasais At-Tashawur Al-Islami : 7-8)
Dari paragraf di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pokok utama yang harus kita jadikan petunjuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut :

  1. Membekali diri dengan persiapan perasaan, pengetahuan –indra- dan pengalaman yang selalu menyertainya saat ingin memahami nash-nash Al-Quran dan merasakan sentuhan-sentuhannya.
  2. Memfokuskan diri –dengan khayalan, perasaan dan inderanya- pada suasana dan lingkungan saat diturunkannya Al-Quran, baik di Mekah dan di Madinah, agar dapat menemukan jejak dan pengaruh Al-Quran di sana
  3. Memperhatikan sikap para sahabat –lingkungan Mekah dan Madinah- dengan Al-Quran dan interaksi mereka serta kehidupan mereka bersama Al-Quran.
  4. Meneliti beberapa tujuan utama Al-Quran, metode aktual pergerakan yang di celup kan terhadap kehidupan umat Islam, serta diturunkannya Al-Quran secara realita dan sungguh-sungguh, sadar dan giat.
  5. Mengamalkannya dalam praktek jihad, dan menerapkannya dalam kehidupan dakwah –seperti –dalam sebagian fenomena- penerapan yang dilakukan oleh para sahabat –khususnya pada periode “Mekah” dan pergerakan teoritis jihad dengan Al-Quran, menyibukkan diri, perasaan dan anggota tubuh dengan kesibukan dan perhatiannya, kegalauan perasaan dan siksaan yang mereka terima…menerima –dari itu- Al-Quran agar di dapati darinya jawaban yang nyata dan obat penyembuh

Jika kita pindahkan perhatian kepada “Fi Zhilal Al-Quran” untuk membahas ungkapan-ungkapan yang menjelaskan teori pergerakan dalam mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran maka kita akan mendapatkan banyak sekali faedahnya.
Ustadz Sayyid Quthub menyeru kepada kita untuk hidup di bawah naungan Al-Quran –sebagaimana ia hidup di dalamnya- untuk menemukan rahasia, tabiat dan kunci-kuncinya…”Hidup di bawah naungan Al-Quran” bukan berarti mempelajari Al-Quran dan membacanya serta menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya..ini berarti bukan yang kami maksud..yang kami maksud adalah hidup di bawah naungan Al-Quran : manusia di bawah naungan, dalam suasana, dalam bergerak, saat lelah, saat bertarung, dan saat sedih…seperti yang terjadi pada masa awal turunnya Al-Quran…hidup dengannya dalam menghadapi kejahiliyahan yang menggejala di permukaan bumi saat ini; Dalam hati, niat dan gerak, dalam jiwanya selalu bergerak ruh Islam, dalam jiwa umat manusia, dalam kehidupannya dan kehidupan manusia juga…sekali lagi dalam menghadapi kejahiliyahan, dengan seluruh fenomena-fenomenanya, tindak-tanduknya dan adat istiadat nya, seluruh gerakannya, dan seluruh tekanan yang dilancarkan, perang dengannya berusaha membangkitkan aqidah rabbaniyah, sistem rabbani, dan segala aplikasi harus sesuai dengan manhaj –sistem dan aqidah ini setelah melakukan usaha, jihad dan perlawanan…
Inilah lingkungan Al-Quran yang mungkin manusia bisa hidup di dalamnya, merasakan kenikmatan Al-Quran, karena dengan lingkungan demikian Al-Quran turun, sebagaimana dalam lingkungan begitu pula Al-Quran diamalkan…bagi siapa yang tidak mau menjalani kehidupan seperti itu akan terkucil dari Al-Quran, walaupun mereka tenggelam dalam mempelajari, membaca dan menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya…
Usaha yang mesti kita korbankan untuk membangun jembatan antara orang-orang yang Mukhlish dan Al-Quran bukan tujuan kecuali setelah melintasi jembatan tersebut hingga sampai pada satu tempat lain dan berusaha menghidupkan lingkungan Al-Quran secara baik, dengan amal dan pergerakan, hingga pada saatnya mereka akan merasakan inilah Al-Quran, menikmati kenikmatan yang telah Allah anugerahkan kepada siapa yang Dia kehendaki… (Fi Zhilal Al-Quran : 2 : 1016-1017)
Dan menunjukkan kepada kita cara yang baik dalam membaca, mentadabburi, dan mendapatkan rahasia-rahasia dan inti dari Al-Quran, beliau berkata : “Sesungguhnya Al-Quran harus dibaca, para generasi umat Islam hendaknya menelaah nya dengan penuh kesadaran. Harus ditadabburi bahwasanya Al-Quran memiliki arahan-arahan yang hidup, selalu diturunkan hingga hari ini guna memberikan solusi pada masalah yang terjadi saat ini dan menyinari jalan menuju masa depan yang gemilang. Bukan hanya sekadar ayat dibaca dengan merdu dan indah, atau sekadar dokumentasi akan hakikat peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Kita tidak akan bisa mengambil manfaat dari Al-Quran ini sampai kita mendapatkan darinya arahan-arahan tentang kehidupan realita kita pada saat ini dan mendatang, sebagaimana yang telah didapati oleh para generasi Islam pertama saat mereka mengambil dan mengamalkan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam kehidupan mereka…saat kita membaca Al-Quran dengan penuh penghayatan maka kita akan dapati apa yang kita inginkan. Kita akan dapati keajaiban yang tidak terbetik dalam jiwa kita yang pelupa ! kita akan dapati juga kalimat-kalimatnya, ungkapan-ungkapannya, dan petunjuk-petunjuknya yang hidup, mengalir dan bergerak serta mengarahkan pada petunjuk jalan…” (Ad-Zhilal : 1 : 61)
Disebutkan –dalam pembukaan surat Ali Imran sebagai surat peperangan dan pergerakan- tentang kenikmatan hidup dengan Al-Quran dan syarat-syarat untuk mencapai dan mendapatkannya…akan tampak di sana kerugian yang mendalam antara kita dan Al-Quran jika kita berusaha mengamalkannya secara baik, menghadirkan dalam persepsi kita bahwa Al-Quran ini diberikan kepada umat yang giat dan punya semangat hidup, memiliki eksistensi diri, menghadapi berbagai peristiwa-peristiwa yang menimpa dalam kehidupan umat ini.
Akan tampak di sana dinding pemisah yang sangat tinggi antara hati dan Al-Quran, selama kita membacanya atau mendengarnya seakan ia hanya sekadar bacaan ibadah saja tidak memiliki hubungan dengan realita kehidupan manusia saat ini…
Mukjizat Al-Quran yang mengagumkan meliputi saat dia diturunkan guna menghadapi realita tertentu dan umat tertentu, pada masa dari masa-masa sejarah yang tertentu, khususnya umat ini yang berada dalam menghadapi perang yang sangat besar yang berusaha mengubah sejarah ini dan sejarah umat manusia seluruhnya. Namun –bersamaan dengan ini- Al-Quran diperlakukan, dihadirkan dan dimiliki untuk menghadapi kehidupan modern seakan-akan dia diturunkan untuk menanggulangi jamaah Islam pada masalah yang sedang berlangsung, seperti peperangan yang terjadi pada jahiliyah.
Agar kita dapat meraih kekuatan yang dimiliki Al-Quran, mendapatkan hakikat yang terdapat di dalamnya dari kehidupan yang menyeluruh, meraih petunjuk yang tersimpan untuk jamaah muslimah pada setiap generasi…maka selayaknya kita harus menghadirkan persepsi kita seperti generasi Islam pertama yang diturunkan kepada mereka Al-Quran pertama kali sehingga mereka bergerak dalam realita kehidupan mereka.
Dengan teori ini kita akan dapat melihat kehidupan yang bergerak di tengah kehidupan generasi Islam pertama. Begitu pun hidup di tengah kehidupan kita saat ini, kita merasakan bahwa Al-Quran akan selalu bersama kita saat ini dan nanti –masa mendatang-, Al-Quran bukan hanya sekadar bacaan saja yang jauh dari kehidupan nyata yang terbatas…” (Ad-Zhilal : 1 : 348-349 –ringkasan)
dalam berinteraksi bersama Al-Quran dan memahami nash-nash nya juga menunjukkan perkataan beliau : “Bahwa nash-nash Al-Quran tidak akan dapat dipahami dengan baik melalui pemahaman dari petunjuk-petunjuk bayan dan bahasa saja…namun yang pertama dan sebelum yang lainnya adalah dengan merasakan kehidupan dalam suasana sejarah pergerakan, dalam realita positif dan menghubungkannya dengan realita kehidupan nyata. Al-Quran tidak akan terbuka rahasianya melalui pandangan yang sangat jauh ini kecuali dalam wujud persesuaian realita sejarah…hingga akan tampak sentuhan-sentuhannya yang lestari, objektivitas yang terus menerus, namun bagi siapa yang bergerak dengan ajaran agama saja, bergelut dengannya seperti yang dilakukan ketika pertama kali ayat diturunkan pertama kali, menghadapi suasana dan keadaan seperti yang mereka hadapi. Dan tidak bisa diungkap rahasia Al-Quran dari “Al-Qoidun” orang-orang yang malas, hanya duduk-duduk tanpa usaha, yaitu mereka yang hanya membahas nash-nash Al-Quran dari segi bahasa dan bayan saja…merekalah yang disebut “al-Qoidun’. (Ad-Zhilal : 3 : 1453- Ringkasan)
Sesungguhnya Al-Quran memiliki tabiat pergerakan dan misi yang nyata, hidup dan bergerak, dari sini berarti Al-Quran tidak akan bisa dirasakan dan diperlakukan dengan baik kecuali bagi siapa yang bergerak secara benar dan pasti dalam realita…beliau berkata : “sesungguhnya Al-Quran tidak bisa dirasakan kecuali yang turun dan bergelut dalam kancah peperangan ini, bergerak seperti yang terjadi sebelumnya saat pertama kali diturunkan Al-Quran. Mereka yang tidak mendapatkan nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk Al-Quran adalah “Qoidun” –malas-. Mempelajari Al-Quran dari segi bayan atau sekadar seni yang tidak dapat memiliki hakikat kebenaran sedikit pun dari hanya sekadar duduk, diam dan tenang, jauh dari kancah pertempuran dan jauh dari pergerakan…bahwa hakikat Al-Quran ini selamanya tidak akan dapat direngkuh oleh orang yang malas, bahwa rahasia yang terkandung di dalamnya tidak akan muncul bagi siapa yang terpengaruh dengan ketenteraman dan ketenangan beribadah kepada selain Allah, beragama untuk thagut selain Allah…(Ad-Zhilal : 4 : 1864)
pengertian di atas dikuatkan dengan pernyataan lainnya : “Demikianlah Al-Quran akan terus bergerak pada hari ini dan esok –masa mendatang- dalam memunculkan kebangkitan Islam, menggerakkannya dalam jalan dakwah yang terprogram”.
Gerakan ini tentunya butuh kepada Al-Quran yang memberikan ilham dan wahyu. Ilham dalam manhaj gerakan, konsep dan langkah-langkah, sedangkan wahyu mengarahkan konsep dan langkah tersebut jika dibutuhkan, dan memberi kekuatan bathin terhadap apa yang akan dihadapi di penghujung jalan.
Al-Quran –dalam persepsi ini- tidak hanya sekadar ayat-ayat yang dibaca untuk meminta berkah, namun di dalamnya berlimpah kehidupan yang selalu turun atas jamaah muslimah yang bergerak bersamanya, mengikuti arahan-arahannya, dan mengharap ganjaran dan janji Allah SWT.
Inilah yang kami maksud bahwa Al-Quran tidak akan terbuka rahasia-rahasianya kecuali bagi golongan muslim yang berinteraksi dengannya untuk merealisasikan petunjuk-petunjuknya di alam realita, bukan bagi mereka yang hanya sekadar membacanya untuk meminta berkah ! bukan bagi mereka yang membacanya hanya untuk belajar seni dan keilmuan, dan juga bukan bagi mereka yang hanya mempelajari dan membahas dalam bidang bayan saja !
Mereka semua sama sekali tidak akan mendapatkan dari Al-Quran sesuatu apapun, karena Al-Quran tidak diturunkan bukan untuk sekadar dipelajari dan dijadikan mata pelajaran namun sebagai pelajaran pergerakan dan taujih –pemberi petunjuk-..” (Fi Zhilal Al-Quran 4 : 1948)
Kita cukupkan cukilan yang memberikan wawasan untuk kita yang bersumber dari kitab Ad-Zhilal, bersegera memperbaiki pemahaman Al-Quran dan mentadabburinya, berinteraksi dengannya seputar teori pergerakan, menggunakan kunci-kunci yang memberi petunjuk dalam berinteraksi dan bertadabbur…karena yang demikian yang sesuai dengan tabiat dasar Al-Quran, karakteristiknya yang unik, ketahuilah yang demikian adalah “Realita pergerakan” sebagai kunci dalam berinteraksi dengan Al-Kitab yang mengagumkan dan mukjizat…
Kita tutup cukilan dengan paragraph yang ditulis oleh Sayyid Quthub, yang menjelaskan karakteristik dan menunjukkan kiat –kunci- teori ini, menuntun kepada system ini… di antara keistimewaannya bahwasanya yang demikian sebagai ringkasan pendapatnya, yaitu pendapat akhir sekali yang beliau tetapkan dan menjadi sebuah tonggak dan keyakinan, hakikat yang qot’i–tidak bisa ditawar-tawar lagi-…karena seperti yang beliau ungkapkan dalam pendahulunya adi surat Al-Hijr –dari cetakan yang sudah direvisi- yang ditulis sebelum dihukum mati beberapa hari –beberapa saat- !!
Beliau berkata : …”Karena itu gerakan Islam akan selalu berhadapan –yang menjadi kebutuhan dan tuntutan- setiap kali berulang masa ini (masa penghadangan dakwah Islam di Mekah antara tahun kesedihan dan Hijrah), seperti yang dihadapi gerakan Islam sekarang di era modern ini…
Kita berkeyakinan atas karakteristik Al-Quran ini …keunggulan realita pergerakan Islam…karena dalam pandangan kami hal tersebut merupakan kunci dalam berinteraksi, memahami, menguasai dengan Al-Quran dan mengetahui misi dan tujuannya.
Dan yang demikian harus disertai dengan keadaan, situasi, kondisi, kebutuhan, dan tuntutan realita amaliyah seperti saat diturunkannya dengan Al-Quran pertama kali…hal tersebut guna mengetahui arah tujuan nash dan aspek-aspek petunjuk-petunjuknya, meneropong ambisi nya yang selalu bergerak di tengah kehidupan yang berhadapan dengan realita sebagaimana makhluk hidup yang bergerak –berinteraksi dengannya atau berseberangan dengannya…pandangan ini merupakan perkara yang sangat urgen guna memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan merasakan kenikmatan bersamanya, sebagaimana ia juga sangat penting memanfaatkan petunjuk-petunjuknya setiap kali berulang suasana dan situasi di masa sejarah yang akan datang, khususnya zaman yang sedang kita hadapi saat ini, saat kita mengawali pergerakan dakwah Islam.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/berinteraksi-dengan-al-quran/

Senin, 03 Oktober 2011

Rasulullah S.A.W Dan Pengemis Buta

a1Rasulullah S.A.W Dan Pengemis Buta

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang

yang mendekatinya ia selalu berkata:
“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”
Namun setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Rasulullah SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari Abu Bakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha (salah satu istri Rasulullah SAW). Beliau bertanya kepada anaknya,
“Anakku adakah sunnah kekasihku (Muhammad) yang belum aku kerjakan?”.
Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya,
“Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”.
“Apakah itu?”, tanya Abu Bakar r.a.
“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke hujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.
Keesokan harinya Abu Bakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.
Sebagaimana kita ketahui bersama Abu Bakar r.a adalah sebagai Amirul Mu’minin (Khalifah/Raja/Presiden seluruh ummat Islam pada waktu itu.
Ketika Abu Bakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak,
“Siapakah kamu?”.
Abu Bakar r.a menjawab,
“Aku orang yang biasa”.
“Bukan!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu,
“Ketika ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan lembut”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abu Bakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,
“Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”
Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar r.a. ia pun ikut menangis, kemudian berkata,
“Benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…”
Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya mengucapkan “Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh..” dihadapan Abu Bakar r.a.

Minggu, 02 Oktober 2011

PENGERTIAN AL QUR`AN

PENGERTIAN AL QUR`AN
“Inilah Al-Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan didalamnya, merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
(QS. Al-Baqarah [2] : 2)
BAB III. PENGERTIAN AL QUR`AN
A. Definisi Al-Qur’an

Pembahasan mengenai pengertian Al-Qur’an akan ditinjau dari dua aspek, yakni pembahasan dari sudut pandang bahasa & dari sudut pandang syara’.

Menurut Bahasa

Qur’an pada mulanya seperti qira’ah yaitu masdar dari qara’a, qira’atan, qur’anan. Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lain dalam satu ucapan yang tersusun rapi. Allah SWT berfirman :

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ(17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya.” (Al-Qiyamah [75] : 17-18)

Qur’anah disini berarti qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa qur’anan artinya sama saja. Disini maqru’ (apa yang dibaca) diberi nama Qur’an yakni penamaan maf’ul dengan masdar.

Menurut Syara’

Secara syara’ Qur’an ialah kalamullah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawwatir & membacanya merupakan ibadah.

Definisi ditas dianggap telah cukup sempurna, karena defenisi harus merupakan deskripsi realitas yang mempunyai ciri jami’ & mani’.[1] Berikut ini penjelasan mengenai definisi diatas ditinjau dari ciri jami’ & mani’ :

1. Kata kalamullah, berfungsi untuk mengkhususkan hanya kepada kalam Allah SWT.

2. Kata merupakan mukjizat, berfungsi menjelaskan bahwa seluruh Al-Qur’an adalah mukjizat.

3. Kata diturunkan, berfungsi untuk mengecualikan kalamullah yang lain.

Contoh kalamullah lainnya adalah :

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah : "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) (QS. Al-Kahfi (18) : 109)

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Luqman (31) : 27)

4. Kalimat kepada Nabi Muhammad SAW, berfungsi untuk mengecualikan nabi-nabi & rasul yang lain.

5. Kalimat diriwayatkan secara mutawwatir, berfungsi untuk mengecualikan riwayat yang tidak mutawwatir.

6. Kalimat membacanya merupakan ibadah, berfungsi untuk mengecualikan hadits Nabawi & Qudsi.[2]



B. Nama-Nama Al-Qur’an

Allah SWT menamakan Qur’an dengan beberapa nama. Imam As-Suyuthi[3] bahkan menyebutkan ada 46 buah nama. Muhammad Husain Abdullah[4] mengatakan bahwa sebagian nama tersebut sebenarnya merupakan sifat-sifat Al-Qur’an bukanlah namanya. Manna’ Khalil Al-Qattan[5] memaparkan nama & sifat dari Al-Qur’an. Berikut nama-nama Qur’an menurut beliau :

1. Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ ...

“Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (Al-Isra’ [17] : 9)

2. Al-Kitab, Allah SWT berfirman :

لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Telah kami turunkan kepadamu Al-Kitab yang didalamnya ...” (Al-Anbiya’ [21] : 10)

3. Al-Furqan, Allah SWT berfirman :

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada ...” (Al-Furqan [25] : 1)

4. Az-Zikr, Allah SWT berfirman :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Az-Zikr, …” (Al-Hijr [15] : 9)

5. At-Tanzil, Allah SWT berfirman :

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan Qur’an ini Tanzil (diturunkan) dari Tuhan …” (Asy-Syua’ara [26] : 192)

Sebutan Al-Qur’an & Al-Kitab adalah lebih popular. Dr. M. Abdullah Daraz berkata, “Ia dinamakan Qur’an karena dibaca dengan lisan & dinamakan Al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua nama ini menujukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya.” [6]



C. Sifat-sifat Al-Qur’an

Allah SWT melukiskan Al-Qur’an dengan beberapa sifat, diantaranya :

1. Nur (Cahaya), Allah SWT berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
“Wahai manusia telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan-Mu & telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (An-Nisa’ [4] : 174)

2. Mauizah (Nasehat), Syifa (Obat), Huda (Petunjuk), Rahmah, firman Allah SWT :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu & obat bagi yang ada didalam dada & petunjuk serta rahmat ...” (Yunus [10] : 57)

3. Mubin (Yang menerangkan), Allah SWT berfirman :

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah SWT & Kitab yang menerangkan.” (Al-Maidah [5] :15)

4. Mubarak (Yang diberkati), Allah SWT berfirman :

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ ...

“Dan Qur’an ini adalah yang telah kami berkati, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya….” (Al-An’am [6] : 92)

5. Busyra (Khabar gembira), Allah SWT berfirman :

... مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“…yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah [2] : 97)

6. ‘Aziz (Yang mulia), Allah SWT berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
“Mereka yang mengingkari Az-Zikr ketika Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka pasti akan celaka). Qur’an kitab yang mulia.” (Fussilat [41] : 41)

7. Majid (Yang dihormati), Allah SWT berfirman :

بَلْ هُوَ قُرْءَانٌ مَجِيدٌ
“Bahkan yang mereka dustakan itu adalah Qur’an yang dihormati.” (Al-Buruj [85] :21)

8. Basyir (Pembawa khabar gembira) dan Nazir (Pembawa peringatan), Allah SWT berfirman

كِتَابٌ فُصِّلَتْ ءَايَاتُهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ(3) بَشِيرًا وَنَذِيرًا ...

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa khabar gembira & yang membawa peringatan...” (Fussilat [41] : 3-4)



D. Keistimewaan Al-Qur’an

Banyak ulama yang telah menulis tentang keistimewaan Al-Qur’an.[7] Ada yang berdasarkan hadits shahih tapi ada pula berdasarkan hadits lemah bahkan palsu. Orang yang menciptakan hadits palsu mengenai keistimewaan Al-Qur’an dengan tujuan untuk membuat orang kembali mencintai Qur’an. Ini merupakan tindakan yang menunjukkan kebodohan.

1. Keistimewaan bagi pembacanya dan yang mendengarkannya, Allah SWT berfirman :

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila dibacakan Al-Qur’an (kepadamu), maka dengarkanlah baik-baik & perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf [7] : 204)

“Siapa saja membaca satu huruf dari Al-Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas 10 X lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud, yang mengatakan hadits ini hasan & shahih)

Adapun hadits yang membicarakan hal ini adalah :

“Dari Umamah ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim)

“Bacalah Al-Qur’an! Sebab dihari kiamat nanti akan datang sebagai penolong bagi pembacanya.” (HR. Turmudzi)

2. Keistimewaan bagi yang mempelajari dan mengajarkannya

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an & mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

3. Keistimewaan bagi yang mengkhatamkan & penghafalnya

“Abu Hurairah berkata, “Siapa yang membaca Al-Qur’an dalam setiap tahun dua kali (khatam) maka ia telah menunaikan haknya, sebab Nabi SAW membacanya kepada JIbril pada tahun kematiannya sebanyakdua kali.” (Diriwayatkan oleh Hasan bin Ziad)

“Sesungguhnya orang yang didalam dadanya tidak terdapat sedikitpun ayat Al-Qur’an, ibarat rumah yang roboh.” (HR. Turmidzi)

Dalam hadits dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengangkat pemimpin utusan dari kalangan sahabatnya berdasarkan hafalan mereka.[8]

4. Keistimewaan surat yang dikandungnya

“… Bacalah Az-Zahrawain, yaitu Al-Baqarah & Ali Imran. Karena kedua-duanya akan datang dihari kiamat seolah-olah menjadi dua tumpuk awan yang menaungi pembacanya atau menjadi dua burung yang sedang terbang lalu datang hendak membela pembacanya …(HR. Muslim)

“Jantung Al-Qur’an adalah surat Yasiin. Tidaklah surat itu dibaca oleh seseorang yang menghendaki keridlaan Allah SWT & keselamatan pada hari akhirat, melainkan Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya,” (HR. Abu Dawud)

“Siapa saja yang membaca Al-Waqi’ah tiap-tiap malam, maka ia tidak akan ditimpa kepapaan.” (HR. Al-Baihaqi)

“Rasulullah menerangkan bahwa sesungguhnya Qulhuwallahu ahad itu menyamai 1/3 dari Al-Qur’an.” (HR. Muslim)

“Berkata Abu Hurairah, “Rasulullah SAW bersabda, “Dalam Al-Qur’an terdapat surat berisi tiga puluh ayat yang dapat memberikan syafa’t kepada yang membacanya sehingga ia akan diampuni, yaitu Tabarakalladzi biyadihil Mulku.” (HR. Abu Dawud)

“Siapa saja membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah tiap-tiap malam, terpeliharalah dia dari bencana.” (HR. Ahmad)



E. Beda Al-Qur’an dengan Hadits Nabawi & Hadits Qudsi

Secara ringkas perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadits Nabawi & hadits Qudsi dapat dilihat pada tabel berikut ini :



No

Al-Qur’an
Hadits Nabawi
Hadits Qudsi

1
Asal lafalnya dari
Allah SWT
Rasulullah SAW
Rasulullah SAW

2
Penyandarannya kepada
Allah SWT
Rasulullah SAW
Allah SWT/Rasul

3
Derajat riwayat
Semua mutawwatir
Tidak semua mutawwatir
Tidak semua mutawwatir

4
Kemungkinan ditiru
Tidak dapat
Dapat
Dapat

5
Membacanya
Ibadah (pahala tiap huruf)
Tidak pahala secara khusus
Tidak pahala secara khusus

6
Membacanya dalam shalat
Boleh
Tidak boleh
Tidak boleh

7
Menyentuh bagi yang junub
Tidak boleh
Boleh
Boleh

8
Contohnya
…………
…………
…………




Contoh Hadits Qudsi :

1. Contoh yang disandarkan kepada Rasul SAW adalah :

“Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah SAW mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya AWJ, “Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik diwaktu malam ataupun siang hari….” (HR. Bukhari)

2. Contoh yang disandarkan kepada Allah SWT adalah :

“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berkata : Allah SWT berfirman, “Aku menurut persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku. Bila dia menyebut-Ku didalam dirinya, maka Akupun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka Aku-pun menyebutnya dikalangan orang banyak yang lebih baik dari itu ….” (HR. Bukhari dan Muslim)



F. Al-Qur’an Mukzizat Terbesar Rasulullah SAW

Kemukjizatan (i’jaz) adalah menetapkan kelemahan. Apabila ijaz telah terbukti, maka tampaklah kemampuan mu’jiz. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi SAW dengan menampakkan kelemahan orang Arab & generasi berikutnya untuk menghadapi Al-Qur’an. Dan mukjizat adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan & selamat dari perlawanan.

Lalu dimana letak dari kemukjizatan dari Al-Qur’an ? Manna Al-Qattan mengemukakan beberapa pendapat[9] :

1. Abu Ishaq An-Nizam & pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti Al-Murtada berpendapat, kemukjizatan Al-Qur’an adalah dengan cara sirfah (pemalingan). Menurut Nizam sirfah adalah bahwa Allah SWT memalingkan orang Arab untuk menantang Al-Qur’an padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Sedang menurut Al-Murtada sirfah adalah bahwa Allah SWT telah mencabut dari mereka ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Al-Qur’an agar mereka tidak mampu membuat semisal Al-Qu’an.

2. Kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang maupun yang jauh telah berlalu.

3. Kemukjizatan Al-Qur’an karena mengandung bermacam ilmu & hikmah yang sangat dalam.

4. Kemukjizatan Al-Qur’an karena mengandung badi’ yang sangat unik & khas.

5. Kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada balagahnya yang mencapai tingkat tertinggi & tidak ada bandingnya.

Pendapat pertama dibatalkan oleh Qadi Abu Bakar Al-Baqalani dengan berkata, “Salah satu hal yang membatalkan pendapat sirfah ialah kalaulah menandingi Qur’an itu mungkin tetapi mereka dihalangi oleh sirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan sirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain.” [10]

Imam Suyuthi mengatakan bahwa Allah SWT telah menantang manusia & jin dalam QS. Al-Isra’ [17] : 88. Seandainya mereka telah dibuat tidak berdaya sedemikian rupa, maka tidak ada gunanya tantangan Allah SWT itu. Sebab sama saja dengan berhimpunnya orang-orang yang sudah mati.[11]

Pendapat kedua, menurut Zarkasyi tidak dapat diterima, sebab ia menuntut ayat-ayat yang tidak mengandung berita tentang hal-hal ghaib yang akan datang & yang telah lalu, tidak mengandung mukjizat. Dan ini adalah bathil, sebab Allah SWT telah menjanjikan setiap surah sebagai mukjizat tersendiri.[12]

Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an itu terletak pada Al-Qur’an itu sendiri, yaitu pada lafadz-lafadz yang mengandung makna. Jadi segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an tiada lain terdapat pada uslubnya. Yaitu cara pengungkapan makna-makna dengan ungkapan-ungkapan bahasa.[13] Hal ini senada dengan Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani[14] yang berkata, “Segi kemukjizatannya terletak pada susunan kalimat & kepadatan maknanya.”

Begitu pula pendapat Manna Al-Qattan[15], “Pada hakikatnya, Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakannya & dikandung oleh lafadz-lafadznya.” Selanjutnya ia menjelaskan tiga macam aspek kemukjizatan dari Al-Qur’an :

1. Kemukjizatan bahasa, misalnya dalam keteraturan bunyi yang indah, lafadz-lafadz yang memenuhi hak setiap makna pada tempatnya, adanya khitab yang dapat dipahami setiap orang walau berbeda tingkat intelektualnya serta kalimatnya dapat memuaskan akal & menyenangkan perasaan

2. Kemukjizatan ilmiah, hal ini terletak pada dorongannya kepada umat untuk berfikir disamping membukakan bagi mereka pintu-pintu pengetahuan & mengajak mereka memasukinya.

3. Kemukjizatan tasyri’. Al-Qur’an merupakan Dustur Tasyri paripurna yang menegakkan kehidupan manusia diatas dasar konsep yang paling utama. Al-Qur’an mengandung berbagai hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya & sesamanya.

Ulama berbeda pendapat mengenai kadar kemukjizatan dari Al-Qur’an. Berikut ini beberapa pendapat yang beredar :

1. Kemukjizatan Al-Qur’an dengan keseluruhannya bukan sebagiannya.

2. Sebagian kecil atau sebagian besar dari Al-Qur’an juga merupakan mukjizat.

3. Kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap.

Manna Al-Qattan mengatakan bahwa mengenai segi atau kadar kemukjizatan, kita cukup mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah. Ini saja sudah cukup. Jika seorang penyelidik yang objektif & mencari kebenaran memperhatikan Al-Qur’an dari aspek manapun yang ia sukai. Maka tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan terang & jelas.[16]

Kesimpulannya adalah Al-Qur’an itu memang benar-benar merupakan mukjizat yang besar yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu beliau SAW bersabda :

“Setiap Nabi pasti diberi sesuatu yang serupa, yang dengan itu, manusia akan meyakininya. Tetapi yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang telah diturunkan Allah kepadaku, maka aku berharap menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya.” (HR. Bukhari)



˜™



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Jami’ berarti mencangkup semua aspek realitas yang dideskripsikan dan mani’ berarti mencegah semua aspek yang tidak masuk dalam deskripsi tersebut. Sehingga suatu definisi itu menjadi jelas & punya ciri khas.

[2]Hadits Qudsi ialah setiap hadits yang mengandung penyandaran Rasulullah SAW kepada Allah SWT. Lihat Usulut Hadist hal 9.

[3] Apa Itu Al-Qur’an hal 15.

[4]Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam hal 27.

[5]Studi Ilmu-ilmu Qur’an hal 18-22.

[6] Studi Ilmu-ilmu Qur’an hal 19.

[7] Lihat Taqarrub Kepada Allah hal 17-22.

[8]Lihat Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir I pada pembahasan awal surah Al-Baqarah.

[9] Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 374 – 378.

[10] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 375.

[11] Apa Itu Al-Qur’an hal 115.

[12]Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 377.

[13]Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah I hal 168.

[14]Apa Itu Al-Qur’an hal 115 – 116.

[15] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 379 – 399.

[16]Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 379.

PERIHAL WAHYU



“Dan Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan seizing-Nya apa yang Dia Kehendaki.”
(QS. Asy-Syura [42] : 51)

Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW yang mana kumpulan wahyu ini nantinya dibukukan menjadi mushaf yang kita lihat saat ini. Oleh karena itu, sebelum kita mengkaji hal ihwal Al-Qur’an, ada baiknya kita mengkaji terlebih dahulu mengenai perihal wahyu. Dimana kajian ini akan mencangkup keberadaan wahyu, pengertiannya, cara turunnya & pembuktian bahwa Al-Qur’an itu benar adalah wahyu Allah SWT.



A. Menelusuri Keberadaan Wahyu
Ilmu pengetahuan telah membuka mata manusia akan banyaknya misteri alam yang belum mereka ketahui, namun terkadang ilmu pengetahuan dapat pula membuat orang menjadi sombong & pongah. Mereka tidak mau mempercayai keberadaan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Padahal banyak sekali fakta yang mereka hadapi namun belum dapat ditelusuri secara ilmiah, semisal :

1. Keberadaan roh yang merupakan rahasia kehidupan.

2. Kemampuan hipnotisme yang menjelaskan hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi yang mampu membuat orang lain melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya.

3. Pengalaman kita berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dengan orang lain baik dalam keadaan sadar maupun tidak (semisal mimpi).

Atau hal yang mulai dapat dipelajari & dimanfaatkan seperti :

1. Orang dapat mendengar percakapan yang direkam & dibawa oleh gelombang eter.

2. Orang dapat melakukan komunikasi dalam jarak yang jauh dengan atau tanpa melihat lawan bicara.

Contoh-contoh diatas atau yang serupa dengannya, cukup dapat menjelaskan kepada kita tentang hakikat keberadaan wahyu. Sebagai seorang muslim, untuk meyakini sesuatu, selain berpegang pada contoh diatas, kita juga menjadikan nash sebagai dalil keberadaan wahyu. Allah SWT berfirman :

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَءَاتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا

“Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu seperti Kami telah mewahyukan kepada Nuh & nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah mewahyukan pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub & anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun & Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (An-Nisa’ [4] : 163)

Ibnu Katsir mengatakan : Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Sakan & Adi bin Zaid berkata : Hai Muhammad, kami tidak mengetahui Allah menurunkan sesuatu kepada manusia setelah Musa !” Maka Allah menurunkan ayat ini (An-Nisa’ [4] : 163).

أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ ...

“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki diantara mereka …” (Yunus [10] : 2)

Ibnu Katsir berkata : Yakni Allah SWT memandang ganjil terhadap kaum kafir yang merasa heran terhadap pengutusan para rasul dari kalangan manusia. Mereka mengatakan, “Terlalu agung bagi Allah jika rasul-Nya berupa manusia seperti Muhammad.” Maka Allah AWJ menurunkan ayat ini (Yunus [10] : 2).

Dengan demikian, maka wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW & para Nabi bukanlah hal yang mengherankan. Menyangsikan keberadaan wahyu adalah sikap yang tidak pantas bagi seorang yang berakal & beriman.



B. Pengertian Wahyu

Pembahasan pengertian wahyu akan dibagi atas dua pembahasan. Yakni pembahasan ditinjau dari bahasa & menurut syara’.

Menurut Bahasa

Ibnu Hajar Al-Asqalani[1] mengatakan wahyu adalah memberitahukan secara samar. Sedangkan menurut Al-Qattan[2], “Al-Wahy adalah kata masdar & materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar yaitu tersembunyi & cepat. Oleh karena itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi & cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya.” Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi :

1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu kepada ibu Musa as :

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ ...

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia…” (Al-Qasas [28] : 7)

Ibnu Katsir berkata : Allah SWT memberitahukan kepada Ibu Musa & memasukkan ke dalam kesadarannya cara menangani Musa as.

2. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah :

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي ...

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang …” (An-Nahl [16] : 68)

Ibnu Katsir berkata : Yang dimaksud wahyu disini adalah ialah ilham, petunjuk & bimbingan bagi lebah agar ia membuat sarang.

3. Isyarat yang cepat melalui rumus & kode seperti isyarat Zakaria as :

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا

“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka, “Hendaklah kamu bertasbih…” (Maryam [19] : 11)

Ibnu Katsir berkata : Maka ia (Zakaria) keluar dari mihrrab dimana dia menerima berita gembira akan mendapatkan anak laki-kali menuju kaumnya. Lalu dia memberi isyarat yang halus & cepat kepada mereka.

4. Bisikan & tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia, firman Allah SWT :

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am [6] : 112)

Ibnu Katsir berkata : Ibnu Juraij berkata, “Mujahid menafsirkan ayat ini dengan jin-jin yang kafir adalah setan. Mereka membisikkan perkataan yang indah sebagai tipuan kepada setan-setan manusia berupa manusia kafir. Sebagian mereka melontarkan perkataan yang indah-indah & melemahkan kepada sebagian yang lain, perkataan yang elok yang dapat memperdaya si penyimak karena tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya.

وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ...

“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu”(Al-An’am [6] : 121)

Ibnu Katsir berkata : Ibnu Abbas berkata, “Sebenarnya ada dua wahyu, yaitu wahyu Allah & wahyu syaithan. Wahyu Allah diturunkan kepada Muhammad & wahyu syaithan diturunkan kepada teman-temannya yaitu kaum Quraisy.” Kemudian berkata Ibnu Abbas lagi bahwa sesungguhnya setan dari Persia mewahyukan kepada teman-temannya yaitu kaum Quraisy.

5. Apa yang disampaikan Allah SWT kepada malaikat :

إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا ...

“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah…” (Al-Anfal [8] : 12)



Menurut Syara’

Ibnu Hajar berkata, “Secara terminology wahyu adalah memberitahukan hukum-hukum syari’at, namun terkadang yang dimaksud dengan wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.” [3]

Imam Az-Zuhri mengatakan, “Wahyu ialah kalam Allah SWT yang disampaikan kepada salah seorang Nabi-Nya kemudian dikukuhkan-Nya kedalam hatinya. Lalu Nabi itu menyatakan bahwa itu adalah wahyu & ditulisnya.” [4]

Muhammad Husein Abdullah mengatakan,“Wahyu adalah pemberitahuan Allah SWT kepada rasul-rasul tentang risalah mereka.” [5]



C. Cara Wahyu Turun

Wahyu sebagai kalam Allah SWT yang turun kepada para malaikat, para nabi & rasul dapat dijelaskan sebagai berikut :

v Kepada Malaikat

Allah SWT menyampaikan wahyu secara langsung kepada malaikat.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ ...

”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang …” (Al-Baqarah [2] : 30)[6]

إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا ...

“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat. “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian …” (Al-Anfal [8] : 12)

Hadits dari Nawas bin Sam’an yang mengatakan, “Rasulullah SAW bersabda :

“Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun tergetarlah dengan getaran – atau dia mengatakan goncangan – yang dahsyat karena takut kepada Allah AWJ. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka diantara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu, “Apakah yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai Jibril ? Jibril menjawab, “Dia mengatakan yang hak & Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah AWJ.” (HR. Tabarani)

v Kepada Para Nabi & Rasul

Sampainya wahyu kepada para nabi & rasul melalui beberapa cara sebagaimana Allah SWT berfirman :

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinnya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura (42) : 51)[7]

Berikut ini penjelasan tiga cara dari ayat diatas[8] :

1. Perantaraan wahyu, untuk ini terbagi atas tiga. Yakni pertama, wahyu dimasukkan ke dalam hati & akalnya. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya ruhul quds memasukkan perkataan ke dalam hati & akalku.” (HR. Al-Hakim)

“Roh Kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki & ajalnya. Maka bertaqwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.” (Hadits Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad yang sahih)

Kedua, wahyu datang melalui mimpi yang benar diwaktu tidur. Allah SWT berfirman :

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Maka kami beri kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar. Maka tatkala anak itu telah sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu ?” Dia menjawab, “Wahai bapak, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah SWT engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” (As-Saffaat [37] : 101-102)

“Dari Aisyah ra dia berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)[9]

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, menurutnya, “Turunnya wahyu dengan cara mimpi yang benar adalah untuk latihan bagi Nabi untuk menerima dalam keadaan sadar, kemudian ketika sadar beliau dapat melihat cahaya, mendengar suara & batu-batu kerikil memberi salam kepadanya.” [10] Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa Nabi mendapatkan wahyu lewat mimpi pada bulan kelahirannya yakni Rabi’ul Awal ketika umur beliau 40 tahun sedangkan turunnya wahyu dalam keadaan sadar pada bulan Ramadhan.[11]

Ketiga, datang kepada Rasul SAW suara seperti dencingan lonceng & suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga beliau SAW dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara seperti ini paling berat buat Rasulullah SAW. Hadits dari Aisyah bahwa Haris bin Hisyam bertanya tentang wahyu & Rasulullah SAW menjawab :

“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng & itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku & akupun memahami apa yang ia katakan.”

“Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, adakah engkau merasakan wahyu ?” Nabi SAW menjawab, “Aku mendengar bunyi lonceng kemudian pada saat itu aku diam. Tidaklah diwahyukan kepadaku melainkan aku menyangka bahwa nyawaku sedang diambil.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)

2. Disampaikan secara langsung, untuk ini terbagi atas dua. Yakni pertama, Allah SWT berbicara dibalik tabir :

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي ...

“Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami diwaktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, “Wahai Tuhan, tampakkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Al-A’raf [7] : 143)[12]

... وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa’ [4] : 164)[13]

Kedua, Allah SWT berbicara tanpa tabir. Menurut Ibnu Hajar pada malam Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW berbicara dengan Allah SWT secara langsung tanpa hijab.[14]

3. Disampaikan melalui perantara, yaitu Malaikat Jibril as

Jibril as menyampaikan wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW dengan dua cara. Pertama, menjelma dengan bentuk asli. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa Nabi SAW bertemu Jibril as dengan wujud aslinya hanya dua kali. HR. Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud mengatakan pertemuan pertama ketika bertemu pertama kali & kedua ketika Isra’ Mi’raj. HR. Tirmidzi dari jalur Masruq dari Aisyah mengatakan pertemuan pertama di Sidratul Muntaha & kedua di Ajyad.[15]

Kedua, menjelma sebagai manusia. Cara seperti ini sangat disenangi Rasul SAW, karena merasa seperti seorang manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri. Aisyah ra berkata :

“Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu pergi, sedang keringatpun mengucur dari dahi Rasulullah.” (HR. Bukhari)



D. Keraguan Terhadap Al-Qur’an

Orang Jahiliyah baik dahulu maupun sekarang selalu berusaha menimbulkan keraguan mengenai turunnya wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Dengan tujuan untuk menggugat kenabian beliau SAW & keberadaan Al-Quranul Karim. Adapun argumen yang mereka gunakan adalah :

1. Al-Qur’an karangan pribadi Muhammad SAW untuk meraih kekuasaan

Argumen ini dapat disanggah dengan mengatakan :

a. Jika Rasul hanya ingin meraih kekuasaan saja, tentunya dia akan menisbatkan Al-Qur’an atas dirinya sendiri yang pasti akan dapat mengangkat derajatnya di mata manusia.

b. Jika menisbatkan Al-Qur’an sebagai kalam Allah SWT dikatakan untuk menjadikan kata-katanya terhormat. Tentunya Rasul SAW tidak perlu lagi mengeluarkan hadits yang dinisbatkan kepada dirinya.

c. Tuduhan bahwa Rasul SAW mengarang Al-Qur’an merupakan tuduhan yang menggambarkan bahwa Rasul SAW adalah pemimpin yang pendusta & palsu. Tentunya tuduhan ini tertolak dari kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa Rasul SAW adalah sosok pribadi yang jujur sehingga digelar Al-Amin oleh orang Arab secara umum.

d. Rasul SAW tidak dapat langsung menjawab beberapa pertanyaan & masalah, memberi izin untuk tidak ikut perang dll, sebelum turunnya wahyu. Jika Al-Qur’an adalah dari Rasul SAW tentunya dia tidak perlu menunggu seperti itu.

e. Adanya teguran kepada Rasul SAW dalam beberapa ayat. Jika Al-Qur’an dari beliau SAW, tentunya hal ini tidak akan terjadi.

f. Didalam Al-Qur’an terkandung berita umat terdahulu, peristiwa sejarah yang sudah amat jauh, dengan kejadian yang benar & akurat, bahkan kejadian semesta alam yang tidak mungkin pernah dilihat manusia.

2. Al-Qur’an dinukil Rasul SAW dari kitab sebelumnya yang diajarkan oleh para ahli kitab

Argumentasi ini dapat ditolak dengan alasan :

a. Sejarah membuktikan bahwa Rasul SAW adalah seorang yang ummi & tidak pernah menerima pelajaran dari sesiapapun kecuali dari Allah SWT.

b. Memang benar Rasul SAW pernah bertemu dengan Rahib Bahira di Busyra di Syam, namun saat itu beliau SAW masih kecil & pertemuan itu sangat singkat.[16] Kemudian beliau SAW bertemu Waraqah bin Naufal, namun saat itu beliau SAW telah menjadi rasul bahkan hal itu diakui oleh Waraqah[17]. Kemudian beliau SAW juga banyak bertemu & mengadakan pembicaraan dengan Pendeta Yahudi & Nashrani, namun justru merekalah yang bertanya kepada beliau SAW bukan sebaliknya.

3. Al-Qur’an buatan orang Arab

Argumentasi ini telah tertolak dengan ketidakmampuan orang Arab Jahilliah & termasuk orang Arab masa kini menjawab tantangan Allah SWT dalam banyak ayat yang menantang mereka membuat yang semisal Qur’an atau minimal satu surah semisal Qur’an. Hal ini karena ketinggian & keistimewaan susunan & kandungan ayat Qur’an yang merupakan mukjizat terbesar Rasul SAW.

Adapun ayat yang merupakan tantangan Allah bagi orang-orang yang meragukan bahwa Al-Qur’an itu dari sisi Allah SWT adalah :

a. Menantang pembuatan kitab semisal Al-Qur’an

قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Katakanlah, “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk dari pada keduanya, niscaya aku mengikutinya jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” (QS. Al-Qashash [28] : 49)[18]

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia & jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Israa [17] : 88)[19]

Asbabun Nuzul dari ayat ini adalah Salam bin Musykam cs & Kaum Yahudi berkata, “ ... Turunkanlah kepada kami sebuah kitab yang kami kenal. Kalau tidak, kami akan mendatangkan kepadamu seperti yang engkau bawa.” (HR. Ibnu Ishaq & Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas).

b. Menantang mendatangkan kalimat semisal Al-Qur’an

فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. At-Thur [52] : 34)[20]

c. Menantang mendatangkan sepuluh surat semisal Al-Qur’an

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu. ”Katakanlah, “(Kalau demikian) maka datangkanlah 10 surat yang dibuat-buat yang menyamainya dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Hud [11] : 13)[21]

d. Menantang mendatangkan satu surat semisal Al-Qur’an

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakana itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya & panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil selain Allah ...” (QS. Yunus [10] : 38)[22]

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(23)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّار...

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, buatlah satu surat saja yang semisal Al-Qur’an itu & ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya & pasti kamu tidak dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka ...” (Al-Baqarah [2] : 23-24)[23]

4. Al-Qur’an buatan orang lain

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Kalau seandainya orang Arab saja tidak mampu membuat yang semisal Qur’an karena ketinggian, keistimewaan susunan & kandungan ayat Qur’an. Apalagi orang bukan Arab.

Orang kafir Quraisy mengatakan bahwa Al-Qur’an dibuat oleh orang Rum, seorang tukang besi di Mekkah yang bernama Zibr Ar-Rumi. Orang Musyrik mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang mengajarkan Al-Qur’an ini kepada Muhammad kecuali Zibr Ar-Rumi.” Majikan Zibr Ar-Rumi memukulinya & berkata, ”Kau mengajari Muhammad ?” Zibr Ar-Rumi menjawab, ”Tidak, demi Allah, malahan dialah yang mengajari & memberi petunjuk kepadaku ...” [24]. Oleh karena itu Allah SWT berfirman :

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata : "Sesungguhnya Al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (ialah) bahasa `Ajam, sedang Al-Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. An-Nahl [16] : 103)

˜™



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Fathul Baari I hal 17.

[2] Studi Ilmu-ilmu Qur’an hal 36-37.

[3] Fathul Baari I hal 17.

[4] Apa Itu Al-Qur’an hal 45.

[5] Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam hal 28.

[6]Ibnu Katsir berkata : Allah SWT memberitahukan ihwal pemberitahuan karunia kepada Bani Adam & penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di Al-Mala’ul A’la, sebelum mereka diadakan.

[7]Ibnu Katsir berkata : Kelompok ayat ini menjelaskan cara-cara penurunan wahyu dari Allah SWT.

[8]Lihat Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah I hal 133-137 & bandingkan dengan Apa Itu Al-Qur’an hal 46-47.

[9] HR. Muttafaq ‘Alaih berarti hadits itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim & Imam Ahmad.

[10] Fathul Baari I hal 38.

[11]Fathul Baari I hal 44.

[12]Ibnu Katsir berkata : Musa as berbicara secara langsung dengan Allah SWT tapi tidak mampu melihat Allah SWT. Musa as berbicara dibelakang tabir.

[13]Ibnu Katsir berkata : Penggalan ayat ini merupakan penghormatan bagi Musa as. Oleh karena itu Musa as disebut Al-Kalim (orang yang berbicara). Muktazilah menolak Musa as pernah berbicara dengan Allah SWT.

[14] Fathul Baari I hal 33.

[15] Fathul Baari I hal 40.

[16] Lihat Pengantar Studi Al-Qur’an hal 191 – 192 & Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam I hal 148 – 151.

[17] Lihat Fathul Baari I hal 38 & Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam I hal 157 – 158.

[18]Ibnu Katsir berkata : Dua kitab yaitu Qur’an & Taurat Musa bin Imran.

[19]Ibnu Katsir berkata : Karena persoalan itu diluar kemampuan mereka. Bagaimana mungkin tuturan makhluk dapat menyerupai tuturan Al-Khaliq yang tidak mirip dengan apapun ?

[20]Ibnu Katsir berkata : Kekufuran merekalah yang telah mendorong mereka mendustakan Rasul SAW. Maka datangkanlah ungkapan semisal dengan Al-Qur’an. Apakah mereka sanggup membuatnya ?

[21] Ibnu Katsir berkata : Tidak ada seorangpun yang dapat menampilkan ungkapan seperti Al-Qur’an tidak 10 surat dan tidak pula satu surat karena firman Rabb terlalu tinggi. Untuk dapat diserupai oleh perkataan makhluk sebagaimana sifat-Nya tidak dapat diserupai oleh perkara apapun.

[22]Ibnu Katsir berkata : Jika kamu mampu maka datangkanlah ungkapan serupa Al-Qur’an, yakni yang sejenis dengan Al-Qur’an. Dan meminta bantuanlah dalam melakukan hal itu kepada setiap makhluk, baik jin maupun manusia.

[23]Ibnu Katsir berkata : Allah SWT menantang mereka dengan surah Madaniyyah ini setelah sebelumnya dengan surah Makkiyah. Sesungguhnya Allah SWT telah menantang semua orang baik secara berkelompok maupun perseorangan, baik menyertakan orang awam maupun Ahli Kitab. Tantangan bagi mereka bersifat umum baik ketika di Mekkah maupun di Madinah.

[24] Pengantar Studi Al-Qur’an hal 192 – 193.

Popular Posts