Jumat, 30 September 2011

Pentingkah Menghafal Al Quran




Abdul Aziz Abdul Rauf. Lc, seorang hafizhul- Quran yang sudah sangat dikenal dikalangan masyarakat yang merindukan al-Quran, dan aktif mengadakan ‘Tahfizh Quran Motivation’ mengawali tulisannya tentang Hifzhul Quran dan Tarbiyah Imaniyah dalam bukunya Tarbiyah Syakhshiyah Quraniyah, beliau mengatakan,” menghafal al-Quran harus diyakini sebagai suatu bagian dari perjalanan pembinaan akidah bagi orang yang beriman, sehingga aqidah yang belum sampai pada standar yang diinginkan tidak akan mampu melihat realitas hifzhul Quran sebagai tuntutan perkembangan akidahnya. Nampak jelas sekali dari ungkapan di atas bahwa kepedulian seorang muslim untuk melibatkan diri dalam program menghafal al-Quran merupakan realisasi peningkatan kualitas keimanannya. Dalam tulisannya tersebut, beliau menambahkan, “akidah yang baik akan berdampak kepada pemahaman ibadah kepada Allah yang sempurna. Dari situ akan lahirlah berbagai macam upaya untuk berusaha lebih dekat kepada Allah dengan mengikuti semua petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam proses ini manusia pasti akan bertemu dengan suatu sarana ibadah berupa al-Quran.” Lebih jauh lagi beliau menambahkan mengapa orang yang meningkat keimanannya akan sampai pada kesimpulan di atas, ini dikarenakan al-Quran akan menyediakan bentuk komunikasi aktif dengan Allah. Dari al-Quran manusia akan merasa dipanggil, ditegur, diancam, serta diiming-iming oleh Rabbnya, maka yang pertama terjadi adalah kesadaran bertilawah (membaca al-Quran) lalu semakin bertambah keimanannya akan muncul kesadaran menghafal, dan semakin bertambah keimanannya, lahirlah kesadaran untuk beriteraksi dengan al-Quran dalam semua bentuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, hifzhul Quran tidak akan ada dalam hati kita, tanpa semangat iman dan ibadah kepada Allah Swt.

Uraian di atas nampak logis, apalagi jika dikaitkan dengan kedudukan al-Quran yang sudah ditetapkan sebagai Kalam Allah yang berisi petunjuk dengan segala kesempurnaannya untuk meraih kemaslahatan hidup yang hakiki di akhirat nanti disertai kecintaan dan keridlaan Ilahi, bahkan Allah dan Rasul-Nya, sejak awal telah menetapkan berbagai keutamaan yang akan diberikan bagi mereka yang senantiasa menjalin hubungan dan berinteraksi dengannya, dan salah satu interaksinya yang utama adalah menghafalkannya (hifzhul Quran). Sebut saja hadis Rasul yang mengatakan ,”bacalah al-Quran karena ia (al-Quran) pada hari kiamat nanti akan datang untuk memberikan syafa’at (menjadi penolong) bagi para sahabatnya. (HR Muslim). Sahabat maksudnya adalah orang yang sangat dekat dan akrab, rela berkorban tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa sekalipun untuk seseorang yang dicintainya. Sahabat al-Quran berarti mereka yang memprioritaskan al-Quran sebagai objek utama untuk mengisi kehidupannya dengan penuh pengorbanan dan kecintaan. Keakraban itu ditunjukkan dengan berusaha mempersatukan al-Quran dengan hati dan pikiran, bacaan dan amalan, dakwah dan tindakan melalui kebersamaan yang tidak dapat dilepaskan yaitu dengan menghafalkan al-Quran dan orang yang berusaha menjalin kebersamaan dengan al-Quran yakin bahwa ia akan meraup berbagai ‘keuntungan’, duniawi dan ukhrawi.

Allah Swt berfirman dalam QS Fathir : 29 yang artinya: “sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca Kitab Allah, melaksanakan shalat, dan berinfak dari sebagian yang Kami rizkikan kepadanya baik dengan sembunyi atau terang-terangan, merekalah yang mengharapkan suatu perniagaan yang tidak pernah merugi.”

Memang tidak ada ketentuan baik dari al-Quran maupun sunnah yang memerintahkan secara langsung dan tegas untuk menghafal al-Quran, namun cukuplah kiranya beberapa hal ini sebagai pemacu dan motivasi agar setiap muslim segera melibatkan dirinya dalam program menghafal al-Quran.


Melibatkan diri dalam proyek Allah Swt.

Hifzhul Quran yang sering diartikan menghafal al-Quran terambil dari kata ( حفظ)hifzh . Kata ini memiliki makna menjaga atau memelihara. Berkaitan dengan al-Quran, Allah Swt berfirman :

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون (سورة الحجر : 9)

Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan adz-dzikr (al-Quran) dan sesungguhnya Kami pula baginya benar-benar para pemelihara.

Seringkali Allah menggunakan kata ganti yang menunjuk diri-Nya dengan kata ‘Kami’, memiliki kesan makna yang beragam. Quraish Shihab menjelaskan dalam kajian tafsirnya, Al-Mishbah,. Diantara makna penggunaan kata Kami yang merujuk kepada Allah Swt ini mengisyaratkan adanya keterlibatan pihak lainnya sebagai suatu sunnah yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Dalam hal ini, al-Quran adalah wahyu yang merupakan kalam (perkataan) Allah Swt diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad Saw sebagai mukjizat abadi yang berfungsi sebagai ‘huda’, namun dalam proses turunnya al-Quran, Allah melibatkan malaikat Jibril As sebagai penyampai wahyu kepada Rasulullah Saw, maka kata yang digunakan adalah “Kami yang telah menurunkan al-Quran” sehingga isyarat makna yang ditunjukkan kalimat tersebut adalah Aku yang telah menurunkan al-Quran kepada Muhammad Saw melalui perantara Jibril atas perintah dari-Ku. Kalimat berikutnya, “ dan sesungguhnya Kami baginya (al-Quran)benar-benar para pemelihara.” Kalimat tersebut masih menggunakan kata ‘Kami’ dengan pengertian di atas. “Para pemelihara”, adalah ungkapan dalam bentuk jamak karena begitulah yang dilihat dari asal katanya (لحافظون ) lahafizhuna yang merupakan bentuk jamak dari tunggalnya (حافظ ) hafizh yang berarti seorang penjaga atau pemelihara. Isyarat makna dalam bentuk jamak ini mengesankan keterlibatan kaum muslimin dalam pemeliharaan al-Quran atau dengan kata lain Allah melibatkan juga mereka untuk menjaga dan memeliharanya. Jika dikaitkan dengan QS. Fathir (35) : 32, mereka yang memelihara dan menjaga al-Quran adalah hamba-hamba pilihan Allah Swt.


Kandungan QS. Al-Hijr (15) : 9

Berdasarkan uraian di atas, beberapa hal yang perlu direnungi dari ayat tersebut adalah sebagai berikut: pertama, Allah menegaskan bahwa pemeliharaan al-Quran berada dalam jaminan-Nya, dengan menggunakan kata ganti yang menyandarkan pelaku pemeliharaan tersebut kembali kepada diri-Nya dengan segala kekuasaan dan kemahaan-Nya membuat setiap orang yang berinteraksi dengan al-Quran yakin dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya dan terjaga dari penyimpangan serta penyelewengan dari upaya tangan-tangan jahil musuh-musuh Allah . Terlebih lagi Allah Swt menegaskan ungkapannya dengan dua kata penegasan (إنا ) Inna, sesungguhnya Kami dan lam pada (لحافظون ) yang menegaskan makna kesungguhan dalam arti ‘benar-benar’ sehingga kalimat tersebut diartikan “dan sesungguhnya Kami benar-benar baginya para pemelihara,” ungkapan ini menguatkan janji Allah yang pasti ditepati sehingga tidak ada lagi tempat untuk ragu di hati kaum muslimin. Seberapa besarpun usaha para musuh Islam untuk menghadang dan menghancurkan al-Quran, Allah akan tetap memeliharanya walau tanpa dukungan kaum muslimin sekalipun karena kehendak Allah jauh melebihi makhluk-makhluk-Nya.

Kedua, kemahakuasaan Allah yang telah menyandarkan pemeliharaan al-Quran terhadap diri-Nya sebagai ‘proyek’ Allah menegaskan bahwa Dia tidak membutuhkan sedikitpun bantuan dari makhluknya yang serba lemah, sedikitnya orang-orang yang memelihara atau menghafal al-Quran tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya sebab ia yang maha Mulia, banyaknya orang-orang yang mengabaikan al-Quran tidak menyebabkan ia rugi dan terhina sebab ia yang maha Kaya dan Terpuji bahkan al-Quran akan tetap terjaga dan terpelihara sesuai dengan janji-Nya, dan setiap muslim harus meyakininya sebab keyakinan ini merupakan bagian dari kesempurnaan iman kepada-Nya, Kitab-Nya serta seluruh aspek yang berkaitan dengan-Nya.

Ketiga, Kehendak-Nya jauh melebihi makhluk-makhluk-Nya, kuat dan tak tergoyahkan. Kalau sekiranya Dia menghendaki al-Quran tetap terpelihara tanpa peran makhluknya maka itulah yang akan terjadi, namun Allah hendak menebarkan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya dengan memilih mereka untuk berperan dalam penjagaan dan pemeliharaan al-Quran, dan inipun terjadi atas kehendak-Nya. Beruntunglah orang-orang yang menempatkan dirinya dalam program menghafal al-Quran, berarti ia ikut terlibat dalam proyek Allah yang besar ini. Merekalah yang termasuk orang-orang yang dilibatkan oleh Allah dalam ayat di atas dengan ungkapan kata “ dan Kami pula baginya (al-Quran) para pemelihara.”Ini berarti Allah menghendaki mereka untuk terlibat dalam penjagaan dan pemeliharaan al-Quran sebagai wujud cinta dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya agar dapat merasakan keutamaan-keutamaan al-Quran yang hendak Allah anugerahkan kepada mereka. Tidak heran jika Rasulullah memanggil mereka dengan sebutan keluarga Allah di bumi. Tidakkah kita tertarik untuk menjadi para penghafal al-Quran karena ia merupakan bagian dari keluarga Allah Swt di muka bumi ini, karena mereka disebut sebagai keluarga Allah maka Allah pun akan menjaga segala kemaslahatannya di dunia dan akhirat nanti.


Kenapa harus dengan menghafal al-Quran?

Beinteraksi dengan al-Quran sangat beraneka ragam, kebanyakan para ulama menyimpulkannya dengan lima macam interaksi, pertama; tahsinu at-tilawah atau membaguskan bacaannya, kedua; tahfizh atau menghafalkannya, ketiga; tafsir atau memahaminya, keempat; tathbiq atau mengamalkannya, dan kelima; tabligh dan dakwah atau menyampaikannya kepada yang lain. Itulah kelima tanggung jawab setiap muslim terhadap al-Quran.

Fenomena menarik yang dapat kita tadabburi dalam QS Al-Hijr di atas adalah Allah menyebutkan al-Quran dengan nama lain yaitu Adz-Dzikr (الذكر ), yang berarti mengingat atau menyebut. Nama lain dari al-Quran adalah Al-Kitab, An-Nur, As-Syifa, Al-Furqan dan banyak lagi nama lainnya. Penyebutan dengan Adz-Dizkr bukan tidak ada maksud, nampaknya memiliki kesan makna lain yang perlu kita tadabburi, bahwa pemeliharaan al-Quran yang paling efektif adalah dengan cara diingat atau disimpan dalam memori otak dan apa yang diingat ini menuntut untuk disebutkan atau dibacakan melalui lisan. Dengan demikian pemeliharaan al-Quran yang dimaksud adalah dengan cara hafalan dan bacaan. Hafalan yang kuat tanpa meninggalkan satu huruf pun dan ini tercapai dengan memperbanyak interaksi dengan al-Quran atau melalui pengulangan yang sering(muraja’ah). Dan hafalan tidak mungkin untuk disimpan saja dalam otak saja, minimal ia harus dibacakan untuk dirinya sendiri sebagai ibadah dan kewajiban lebih lanjut adalah untuk disampaikan kepada yang lainnya dengan cara membacakannya (tilawah) dan membacakannya pun harus memenuhi standar-standar baku dalam membaca al-Quran yaitu dengan menerapkan ilmu Tahsin Tilawahnya.


Melestarikan sunnah Rasulullah Saw, mengikuti jejak generasi terbaik.

Al-Quran untuk pertama kali disampaikan kepada Rasulullah Saw dengan cara diperdengarkan. Jibril As membacakan dihadapannya. Rasulullah Saw menyimak setiap pesan Allah yang disampaikan dengan seksama dan penuh perhatian kemudian beliau ikuti bacaan tersebut dengan penuh kehati-hatian setelah selesai dibacakan oleh pesuruh Allah tersebut . Demikianlah al-Quran sampai kepadanya dan beliau himpun al-Quran dalam dirinya dengan menghafalkannya. Tanpa menunggu lama, beliau sampaikan al-Quran kepada para sahabat, dan mereka pun antusias untuk mendengarkannya dengan penuh perhatian untuk mereka bawa kepada keluarganya kemudian memerintahkan untuk dihafalkannya. Begitulah kehidupan para sahabat ketika berinteraksi dengan al-Quran. Beberapa hadis shahih dan atsar sahabat menceritakan betapa mereka antusias untuk memelihara al-Quran dan kebanyakan mereka menghimpunnya untuk dihafal. Aktivitas mereka ketika berinteraksi satu sama lain tidak lepas dari al-Quran. Mereka terkadang saling membacakan (tasmi’) dalam rangka memperkuat hafalan dan juga memperbaiki bacaan. Merekalah generasi pertama kaum muslimin sebagai generasi yang terbaik, sebuah potret kehidupan yang harus menjadi contoh kita dalam memperkuat hubungan dengan Allah, Rasul-nya, serta membangun kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara dibawah naungan al-Quran.

Apa yang mereka lalukan bukan semata-mata ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, tapi ketaatan itu telah membuahkan hasil sehingga merasakan interaksi dengan al-Quran menjadi suatu kebutuhan. Berbagai peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui Kitab-Nya mereka lalukan dengan penuh antusias dan keseriusan. Faktor lain yang memotivasi mereka adalah keuatamaan-keutamaan orang yang berinteraksi dengannya sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya.


Tuntutan zaman yang semakin mendesak

Kandungan QS Al-Hijr di atas telah memberikan gambaran kondisi masyarakat ketika al-Quran diturunkan. Jaminan pemeliharaan al-Quran oleh Allah Swt disertai dengan ungkapan kata penegasan yang meyakinkan telah membuktikan bahwa masyarakat yang al-Quran turun ditengah-tengahnya adalah masyarakat yang ingkar dan meragukan kebenaran al-Quran. Ketika indikator kebenaran al-Quran sudah mulai dirasakan pun mereka rela bersusah payah dan mengeluarkan tenaga serta pikiran untuk menghadang kebenaran al-Quran dari berbagai penjuru dengan berbagai cara. Berbagai nama yang tidak layak mereka sandangkan pada al-Quran. Ia adalah rangkaian syair hasil kerja sama dengan jin, ia adalah tulisan yang dibuat-buat, ia adalah bait-bait sihir dan perkataaanyang disampaikan oleh tukang tenung atau seorang yang gila. Bahkan di antara mereka ada yang berusaha membuat tandingan-tandingan yang semisal al-Quran. Namun kemukjizatan al-Quran telah membuktikan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu membuat yang serupa dengannya, apalagi al-Quran sendiri menantangnya untuk mendatangkan yang semisal atau sepuluh surat saja atau satu surat saja jika mampu. Nampaknya apa yang mereka lakukan tidak berhenti begitu saja, mereka terus mencari dan mencari cara menodai al-Quran. Maka muncullah berbagai peristiwa yang sempat terngiang di telinga kita. Mereka ada yang menerjemahkan kitab ‘sucinya’ yaitu Injil ke dalam bahasa Arab kemudian dibacakan dan dilagukan dengan gaya al-Quran, mereka membuat surat-surat dan menyelipkannya ditengah-tengah al-Quran, dan mereka berikan nama At-Tajasun, Al-Muslimun dan al-Washaya, yang isinya tidak lain adalah penyanjungan kepada Yesus. Bahkan kasus terakhir sebagi mana yang terjadi di ranah minang beberapa waktu lalu, mereka menerbitkan al-Quran yang isinya terdapat kesalahan-kesalahan cetak bahkan mereka menyelipkan simbol-simbol kristiani, salib, kertas pujian-pujian di dalam jilid tengah al-Quran yang dicetaknya.

Pernah dibacakan dalam suatu majelis taklim, tulisan Injil berbahasa Arab dengan menggunakan irama al-Quran sebagaimana kaum muslimin membacakannya. Ketika ditanyakan, sebagian jamaah spontan menjawab bahwa itu bacaan al-Quran. Ini salah satu kasus yang membuktikan bahwa sebagian umat Islam ada yang terkecoh oleh tipu daya mereka. Sebabnya adalah lemahnya interaksi umat Islam terhadap al-Quran itu sendiri, dan kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh musuh-mush Islam. Seharusnya kasus ini tidak perlu terjadi sebab kaum muslimin telah dituntut untuk berinteraksi dengan al-Quran secara rutin. Bahkan Allah memberikan keutamaan orang-orang yang berinteraksi dengannya begitu juga Rasul menjelaskan keistimewaan-keistimewaan mereka yang sering membacanya terlebih lagi jika menghafalnya. Jika semakin banyak yang menghafalkannya maka kaum muslimin tidak akan mudah terkecoh oleh ulah mereka. Kita pun akan merasa berada di barisan paling depan dalam membela al-Quran, suatu cita-cita yang didambakan oleh setiap muslim yang mukmin, maka sekarang, saatnya kita kembali kepada kitab suci al-Quran, bergaul dan berinteraksi dengannya dengan semangat pengorbanan dan kecintaan demi meraih kenikmatan hakiki di akhirat nanti dalam keridlaan Ilahi. Allahu Akbar!

Pemutakhiran Terakhir ( Kamis, 03 April 2008 15:22 )

Popular Posts